Tepat di hari ini tanggal 21 April, bangsa Indonesia memperingati hari lahirnya seorang Kartini. Kartini dikenal sebagai simbol emansipasi, pejuang yang memperjuangkan derajat wanita di Indonesia. Karena apa yang telah dilakukan Kartini dulu, para perempuan sekarang bisa melakukan apa yang dikerjakan laki-laki, misalnya bekerja, sekolah, dan sebagainya. Berkat sumbangsih yang besar itu, berdasarkan keputusan Presiden RI, No. 108 tahun 1964, Kartini ditetapkan oleh Sukarno sebagai Pahlawan Nasional. Untuk mengenang Kartini, berbagai perayaan dilakukan, contohnya dengan memakai pakaian adat Jawa. Jika perempuan memakai Kebaya, Jarik dan seperangkat lainnya, sedangkan yang laki-laki memakai Blangkon, Beskap, Surjan dan sebagainya. Perayaan ini umum dilakukan di sekolah, instasi hingga kampung. Namun, dibalik semua itu Kartini menyimpan misteri yang sampai sekarang masih diperdebatkan. Apa agama Kartini?
Anak Buddha
Menurut Th. Sumartana dalam bukunya Tuhan dan Agama dalam Pergulatan Kartini, Kartini mengatakan, ia anak Buddha, dan sebab itu pantang daging. Suatu waktu ia sakit keras, dokter yang dipanggil tak bisa menyembuhkan. Lalu datang seorang narapidana China yang menawarkan bantuan mengobati Kartini. Ayah Kartini setuju. Ia disuruh minum abu lidi dari sesaji yang biasa dipersembahkan kepada patung kecil dewa China. Dengan itu, ia dianggap sebagai anak dari leluhir Santik-Kong dari Welahan. Setelah minum abu lidi persembahan untuk patung Budha itu, Kartini memang sembuh. Ia sembuh bukan karena dokter, tetapi oleh obat dari “dukun” Budha. Sejak saat itu Kartini merasa sebagai “anak” Buddha dan pantang makan daging.
Kartini dan Islam
Beberapa surat menyebutkan agama Kartini adalah Islam, dikatakan dalam suratnya pada 15 Agustus 1902. Namun setahun kemudian, pada 5 Juli 1903, Kartini menulis surat pada E. C Abendanon bahwa Tuhan orang Islam dengan tuhan-tuhan agama lain adalah satu dan sama. Ini adalah keyakinan unity of god (kesatuan Tuhan) yang sering dikatakan oleh kelompok Theosofi dan kelompok liberal, bukan keyakinan tauhid. Dalam keyakinan kelompok Theosofi dan kelompok liberal saat ini, Tuhan kita dengan tuhan agama lain hanya beda nama saja, namun pada hakekatnya sama. Orang Islam menyebutnya Allah, orang Yahudi menyebutnya Yahweh, orang Hindu menyebutnya “Sang Hyang Widi”, dan lain-lain. Jadi, menurut mereka, Tuhan kita cuma beda nama saja. Inilah yang juga menjadi keyakinan Kartini sebagaimana tercermin dalam surat-suratnya. Selain itu juga dalam bukunya yang berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang yang sudah diterjemahkan Armijn Pane (2008) mengatakan agama itu maksudnya akan menurunkan rahmat kepada manusia, supaya ada penghubungkan silaturahim segala makhluk Allah. Sekalianya kita bersaudara bukan kita seibu sebapa, ialah ibu bapak kelahiran manusia, melainkan oleh karena kita semuanya makhluk kepada seorang bapak, kepadanya yang bertakhta di atas langit.
Orang-orang di sekeliling Kartini beragama Islam, namun timbul pertanyaan yang menyelimuti Kartini, apakah orang di sekitarnya itu mengetahui makna dari Al Quran? Mereka mengajarkan Islam tanpa memahamkan apa yang diajarkan. Seperti isi surat kartini kepada Stella berikut ini. “Bagaimana aku dapat mencintai agamaku kalau aku tidak mengerti dan tidak boleh memahaminya. Al Qur’an terlalu suci, tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa apapun. Di sini tidak ada yang mengerti bahasa Arab. Orang-orang di sini belajar membaca Al Qur’an tapi tidak mengerti apa yang dibacanya. Kupikir, pekerjaan orang gilakah, orang diajar membaca tapi tidak mengerti apa yg dibacanya.” surat kepada Stella, 6 November 1899. Perlu diketahui, pada waktu pemerintahan Hindia Belanda umat muslim memang dibolehkan mengajarkan Al Qur’an dengan syarat tidak diterjemahkan akan tetapi hanya belajar baca huruf Arab.
Suatu ketika Kartini mengikuti pengajian di rumah pamannya. Kartini tertarik kepada materi yg sedang diberikan, tafsir Al Fatihah, oleh Kyai Sholeh Darat. Setelah selesai pengajian, Kartini menemui Kyai Sholeh Darat dan menceritakan bahwa selama hidupnya baru kali itulah dia sempat mengerti makna dan arti surat Al Fatihah, yang isinya begitu indah menggetarkan hati. Kemudian Kartini meminta Kyai Sholeh menerjemahkan Al Qur’an dalam bahasa Jawa di dalam sebuah buku berjudul Faidhur Rahman Fit Tafsiril Quran jilid pertama yang terdiri dari 13 juz, mulai surat Al Fatihah hingga surat Ibrahim. Akhirnya hal ini cukup membuka pikiran Kartini dalam mengenal Islam.
Akrab dengan Kristen
Label yang diberikan pada Kartini sebagai pahlawan emansipasi membuat masyarakat tak banyak mengetahui bahwa pemikirannya tidak sebatas mengenai perempuan. Selain emansipasi, aspek lain yang dipermasalahkannya adalah keadilan yang menyangkut masalah kemanusiaan. Termasuk di dalamnya pendidikan, kemiskinan, kesehatan, bahkan agama. Dalam buku Th Sumartana, Tuhan dan Agama dalam pergulatan batin Kartini, Ia menggambarkan kedekatan Kartini dengan ajaran Kristen. Terutama pengaruh sang guru, Ny Van Kol. Dari nyonya ini Kartini belajar membaca Bible, kitab suci Kristen. Ia mengerti sebagian prinsip teologis ajaran Kristen. Ia menggambarkan kedekatannya dengan ayahnya sendiri walau dalam beberapa hal mereka tidak sependapat sebagai kedeketakannya dengan Tuhannya. Sebab itu ia menyambut baik, ketika Ny Van Kol memperkenalkan Tuhan sebagai Bapa. Ungkapan ini sangat tepat karena sebagai gambaran pengalaman batinnya, sehingga dalam surat-surat Kartini sangat sering ditemukan ungkapan Tuhan sebagai Bapa yang penuh kasih sayang. Selain itu, kejernihan dalam menilai agama juga ditunjukkan Kartini dengan mengamini keberadaan Bapa bagi umat Katolik. Meski ia menyadari adanya pertentangan antara Islam dan Katolik, tetapi ia tak segan menyebut nama Bapa yang Maha Esa dalam suratnya.
Kartini dan Paham Theosofi
Isi surat-surat Kartini kepada para sahabatnya yang kebanyakan elit-elit Belanda, sangat kental dengan pemikiran dan paham Theosofi. Di antaranya paham tentang pluralisme agama, paham tentang Tuhan dan tentang amal manusia. Kartini memiliki hubungan kedekatan dengan Josephine Hartseen, sahabat masa remaja Kartini. Seperti keterangan yang ditulis oleh Pramoedya dalam bukunya Panggil Aku Kartini Saja, Josephine adalah orang yang mengajarkan kepada Kartini ajaran-ajaran tentang Theosofi dan spiritisme. Joshepine, menurut keterangan Pram adalah anggota Theosofi. Sebagaimana juga keterangan Ridwan Saidi dalam buku Fakta dan Data Yahudi di Indonesia, yang menyebut Josephine sebagai orang Yahudi yang diplot untuk mendekati Kartini. Sahabat Kartini lainnya, Stella Haarshalts Zeehandelaar, adalah perempuan Yahudi aktivis feminis-sosialis yang cukup radikal.
Kartini memang sangat akrab dengan teman-temannya dari Belanda. Sehingga membuat Kartini dekat pula dengan berbagai ajaran yang dianut teman-temannya. Kartini hanyalah manusia biasa dengan segala kebatasannya. Namun, wacana tentang perempuan satu ini masih tetap hidup, baik di kalangan penganut aliran kepercayaan, Islam maupun Kristen, dengan berbagai versi dan beraneka kepentingan. Ia nampaknya ditakdirkan menjadi milik semua golongan.