Cantik Itu Rasis!

Sosial Budaya

Beberapa waktu yang lalu, saya membaca esai Ariel Heryanto yang ditulis pada Koran Kompas 14 September 1997. Esai ringan tersebut membahas kematian Putri Diana, bagaimana media menempatkan dan membingkai Putri Diana dalam pemberitaannya semasa mendiang hidup. Pertanyaan yang Ariel ajukan adalah, apakah besarnya animo masyarakat terhadap pemberitaan atas Putri Diana lebih disebabkan karena sang putri memiliki wajah cantik, berkulit putih, dan kebetulan masuk dalam lingkungan keluarga yang memiliki kekuasaan besar? Andaikan Putri Diana laki-laki, apakah media akan mengekspos sosoknya segamblang itu?

Ayu Sarawasti dalam bukunya yang berjudul Putih: Warna Kulit, Ras dan Kecantikan di Indonesia Transnasional (selanjutnya akan disebut Putih saja) menguatkan asumsi yang telah saya bangun selama ini, bahwa citra cantik melampaui batas-batas negara. Pada contoh sederhana, budaya pop Korea telah melampaui apa yang selama ini orang bayangkan, kehadirannya telah menembus Amerika dan merajai tangga-tangga lagu di Asia. Fenomena ini menjadi menarik karena musik yang terdiri dari boygroup dan girlgroup Korea berhasil mengadakan konser sekaligus menambah angka penggemar.

Budaya pop Korea ternyata tidak berhenti pada pesona lagu-lagu yang ia tawarkan, tetapi juga bagaimana citra cantik adalah putih ditanamkan dengan semakin meluasnya produk-produk kecantikan Korea di Indonesia. Politik dagang alat-alat kosmetik bukan perkara sederhana, setidaknya penjualan kosmetik pernah menyelamatkan toko Woolworths (salah satu toko waralaba di Inggris yang terkenal pada tahun 1930’an karena barangnya yang dijual murah) dari kebangkrutan. Pada tingkat tertentu, iklan-iklan kosmetik tentang putih telah memasuki tahap mengkhawatirkan, akan seberapa jauhkah asumsi bahwa cantik itu putih menjalar?

Indonesia memasuki tahap di mana masyarakat hidup dalam penjejalan baliho-baliho iklan perawatan kulit. Dipungkiri atau tidak, iklan tersebut bertebaran paling banyak di sekitaran kampus. Beberapa produk yang ditawarkan berkisar pada perawatan kulit wajah, termasuk memutihkan (atau bahasa iklan biasanya menggunakan diksi mencerahkan), mengencangkan dan lain sebagainya. Larisnya perawatan-perawatan seperti ini harus ditarik kembali ke dalam konteks historis.

Ayu Saraswati dalam Putih menemukan bahwa Ramayana Jawa Kuno telah menggunakan gambaran putih bercahaya dengan perumpamaan bulan purnama. Saya sendiri menemukan hal menarik berkaitan dengan perumpamaan tersebut. Pada tahun 1962, Adjip Rosidi menuliskan novel yang berjudul Candra Kirana. Dalam novel terbitan Pustaka Jaya tersebut, tokoh Raden Pandji tiba-tiba melihat sosok istrinya yang telah mati, Dewi Anggraeni, dalam kemilau bulan purnama. Dalam cerita ini, Dewi Anggraeni digambarkan cantik jelita.

Penggambaran perempuan dalam cerita Ramayana Jawa Kuno membuktikan citra putih itu cantik ada jauh sebelum kolonialisme masuk ke Hindia Belanda. Perubahan yang terlihat sejak masuknya kolonialisme adalah putih telah diasosiasikan dengan identitas ras. Pada masa 1900-1945, perempuan Kaukasia berkulit teranglah yang dianggap sebagai simbol kecantikan. Kekuasaan kolonialisme ini jugalah yang membuat muncul istilah ‘kuning’ untuk kulit orang-orang Cina.

Memasuki periode pasca-kemerdekaan, Soekarno membuat kebijakan baru yang berbau anti barat. Untuk itu penulis meneliti beberapa koran seperti Harian Rakjat periode 1955, Harian Umum periode Agustus 1956, dan terakhir Kedaulatan Rakyat periode 1958 dan 1963. Ketiga koran ini sama sekali tidak menampilkan iklan tentang produk pemutih, ataupun iklan yang mengandung sosok yang merepresentasikan orang barat di dalamnya. Sebagian besar berkisar pada iklan penghitam rambut, pasta gigi, ataupun setelan baju. Untuk iklan tersebut, bintangnya dicirikan dengan sanggul atau kebaya.

Pergesaran ini akan lebih terlihat dalam iklan sabun Lux, yang sebelumnya konsisten untuk menggunakan bintang iklan yang ‘bule’, tiba-tiba diganti dengan wajah perempuan Indonesia. Penelitian tersebut belum begitu mendalam, tetapi sejak kebijakan Soekarno yang anti-barat, koran-koran mengalami penurunan iklan pemutih.

Ketika tidak sengaja berjalan-jalan ke salah satu supermarket, saya menemukan sebuah produk kecil, dengan desain norak bewarna merah. Salah satu klaim dari produk tersebut adalah memutihkan wajah. Produk tersebut bernama Kelly Pearl Cream, yang selanjutnya akan disebut Kelly saja. Produk ini tersedia di pasaran sejak tahun 1976, selisih setahun dengan produk perawatan Gizi Super Cream yang sampai sekarang juga masih beredar di pasaran.

Dalam hal ini, Putih mengidentifikasi adanya pergeseran makna putih di kalangan masyarakat Indonesia. Kemunculan krim-krim buatan dalam negeri berkisar pada tahun 1970 hingga 1980. Selama itu, citra cantik Kaukasia mulai berubah ke citra cantik perempuan Indonesia. Hal ini ditandai dengan penggunaan latar desa sebagai iklan produk tersebut, seperti iklan losion Citra di majalah Femina.

Kulit putih sebagai dambaan ternyata mewakili sejarah panjang penjajahan. Dalam Ramayana, yang kisahnya sendiri berasal dari India, putih yang digambarkan sebagai terang bulan purnama, menyiratkan penjajahan yang di lakukan bangsa Arya di India. Sedangkan di Indonesia, putih telah merambah ke dalam bisnis yang sangat menguntungkan. Pada paragraf pertama tulisan ini, saya menghadirkan Putri Diana sebagai contoh luar biasa bagaimana media menelanjangi kehidupan Putri Diana yang berkulit putih, dan berasal dari keluarga yang pemegang kuasa.

Media online saat ini, telah menyediakan  berita dengan headline wanita cantik yang melakukan ini dan itu. Berita-berita tersebut laris untuk mendulang pembaca. Pada titik tersebut, cengkeraman framing putih itu cantik sepertinya akan bertahan lebih lama dari yang mampu kita bayangkan.

 

Sumber Gambar: http://innostaa.blogspot.co.id/2012/11/iklan-50-an.html