Di Antara Kodrat dan Emansipasi: Pandangan Ki Hadjar Dewantara Tentang Wanita

Politik

Wanita dalam pandangan Ki Hadjar dalam buku Bagian Pertama: Pendidikan menjelaskan bahwa setiap wanita memiliki kodratnya, yaitu insan yang dianugerahi sifat-sifat halus seperti sabar, penyayang, dan cinta kasih. Wanita memiliki peranan terpenting dalam kehidupan, baik dalam ruang lingkup kecil dalam sebuah keluarga sampai dengan kehidupan berbangsa dan bernegara. Situasi, kondisi, dan peran wanita hari ini sudah mengalami transformasi sedemikan rupa dan tidak dapat lepas dengan kondisi masa lalu. Di masa lalu, masyarakat khususnya di Jawa kaum pria pernah menilai kaum wanita hanya sebagai konco wingking. Wanita di masa lalu sempat dianggap hanya memiliki peran dan fungsi di sumur, dapur, dan kasur saja. Sehingga posisi wanita di masa itu sangatlah dipinggirkan bahkan cenderung lebih rendah dari kaum pria.

Kondisi, peran, dan kedudukan wanita hari ini tidak lagi dapat dipandang sebelah mata. Pada masa kini, emansipasi wanita yang telah dirintis oleh tokoh-tokoh seperti Kartini dan Dewi Sartika mulai membuahkan hasil. Pandangan emansipatif mengenai peran wanita bukan hanya berasal dari tokoh wanita saja, namun juga berasal dari tokoh pria. Ki Hadjar Dewantara merupakan salah satu tokoh pria yang menaruh perhatian terhadap emansipasi wanita. Menariknya, gagasan emansipasi wanita yang diutarakan Ki Hajar memiliki kekhasan tersendiri.

Darsiti Soeratman menjelaskan dalam buku berjudul Ki Hadjar Dewantara, bahwa pada tahun 1928 Ki Hajar menulis sebuah artikel yang menjelaskan bahwa pada zaman itu wanita di dunia Barat sedang bergerak dan berusaha mendapatkan hak persamaan dengan kaum pria. Mereka menuntut emansipasi dalam segala hal. Kegemaran menuntut persamaan ini sudah masuk dalam segala hal. Kegemaran menurut persamaan ini sudah masuk dalam tabiat dan jiwanya. Misalnya mereka menghendaki persamaan dalam hal pakaian, dalam kesenangan hidupnya, pekerjaan dan seterusnya.

Menurut pendapat Ki Hajar Dewantara, gambaran wanita Barat seperti itu merupakan gambaran wanita yang lupa akan kodratnya. Mereka lupa bahwa wanita memiliki perbedaan dengan pria dalam hal fisik. Adapun perbedaan itu disebabkan karena berhubungan dengan kodrat perempuan, yang ditakdirkan akan menjadi ibu, mengandung anak, melahirkan, memelihara, dan mendidik anak. Wanita mempunyai kewajiban-kewajiban kodrati berbeda dengan pria. Dengan adanya kewajiban-kewajiban pada wanita tersebut, maka persamaan hak antara wanita dan pria belumlah mengandung arti bahwa wanita boleh menjalankan tingkah laku pria.

Wanita ditakdirkan menjadi ibu yang akan memelihara dan mendidik anak. Wanita yang kasar tabiatnya tidak selaras dengan hidupnya sebagai ibu. Wanita yang tidak suka dengan anak-anak, dapat dikatakan memungkiri kodratnya sebagai wanita. Menurut pesan dari Ki Hajar Dewantara, kaum wanita Indonesia jangan tergesa-gesa meniru cara modern yaitu cara Eropa. Di sisi lain, perempuan Indonesia jangan terjebak dalam pandangan yang sempit atau dengan kata lain konservatif. Wanita Indonesia harus mampu menyesuaikan perkembangan kehidupan dunia tanpa meninggalkan kodratnya.

Ki Hadjar dewantara menjelaskan dalam Karya I, adapun persamaan pria dan wanita yang hak dan harus berlaku yaitu persamaan hak, persamaan derajat, dan persamaan harga, bukan persamaan sifat hidup atau penghidupannya. Wanita dapat memberi pengaruh pada suasana sekelilingnya dalam hal kesucian dan kehalusan, juga dalam hal kebatinan dan rasa kemanusiaan. Contohnya dalam hal ini dijelaskan dalam sistem pendidikan Taman Siswa.

Di Taman Siswa anak-anak perempuan belajar dengan anak pria dalam satu kelas. Hal ini dipandang penting karena kehadiran perempuan dalam ruangan akan membawa banyak pengaruh. Pengaruh tersebut meliputi hal kesucian, kehalusan dan dalamnya rasa batin. Hal tersebut yang melatarbelakangi adanya perempuan di dalam kelas. Anak-anak pria akan enggan berbuat kasar, dalam mengungkapkan kata-kata pun mereka akan sangat hati-hati dan berusaha berkata halus serta sopan. Ki Hajar pernah menyerukan kepada wanita Indonesia sebagai berikut:

Ketahuilah bahwa kamu sekali berkuasa mendidik keutamaan, karena besarlah pengaruhmu pada barang dan tempat kelilingmu dalam hal kesucian, kehalusan dan dalamnya batin. Ingatlah bahwa kamu berhak turut campur dalam semua perkara. Hukum adat kita memberi hak dan kelonggran padamu lebih daripada hak-hak orang perempuan Eropa. Usahakan kekuatanmu, guna kemuliaan rakyatmu dan keselamatan dunia.”

Ki Hajar berpendapat bahwa yang paling tepat untuk mendidik anak-anak kecil adalah guru wanita, karena hal tersebut sesuai dengan kodratnya. Anak-anak kecil lebih tertarik kepada guru wanita daripada guru laki-laki karena anak-anak masih membutuhkan hubungan batin dengan ibunya. Untuk menghadapi kebutuhan anak-anak wanita dinilai lebih pandai daripada guru laki-laki. Guru laki-laki meskipun mengerti akan kewajibannya selaku guru, namun tabiatnya sebagai laki-laki.

Pada tanggal 22 Desember 1953 diadakan peringatan “Seperempat Abad Kesatuan Pergerakan Wanita Indonesia”. Dalam peringatan tersebut Ki Hajar menerangkan sebuah buku yang menjelaskan tentang wanita sebagai lambang keabadian hidup manusia. “Sebagai pemangku keturunan, wanita itu berkedudukan sebagai ibu. Ia dapat mempunyai tugas yang bermacam-macam antara lain: sebagai ratu keluarga, sebagai juru rawat, guru, pemimpin organisasi sosial dan karir-karir lain di rumah tangga.”

Gagasan emansipasi wanita menurut Ki Hadjar di masa lalu masih sangat relevan dengan realitas masyarakat hari ini. Gagasan tersebut menekankan pentingnya wanita memahami kodratnya. Persamaan pria dan wanita bukanlah hal yang bersifat kaku, melainkan sesuatu yang menuntut agar manusia menjadi saling mengisi dan melengkapi satu sama lain. Pada hakikatnya wanita diciptakan dengan kodratnya sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang penuh cinta kasih, maka seharusnya demikianlah kodratnya wanita. Inilah kekhasan gagasan emansipasi wanita yang dikemukakan oleh Ki Hadjar Dewantara.

 

Sumber Gambar: Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi D.I. Yogyakarta – Makna Nama “Ki Hajar Dewantara” dan Semboyan “Tut Wuri Handayani”