Belakangan kita cukup sering mendengar bahwa Indonesia tengah menghadapi ancaman dari isme-isme tertentu. Tidak jarang aparat pemerintah angkat bicara memaparkan apa saja isme itu. Secara umum, kita lalu mengenalnya sebagai paham radikal. Isme yang mencolok masuk dalam daftar hitam ini setidaknya dapat kita kelompokkan menjadi dua jenis. Pertama Fundamentalisme agama yang mendorong Terorisme dan hancurnya kemajemukan, kedua Komunisme yang sepanjang sejarah Indonesia dianggap telah banyak melakukan hal keji guna menggusur Pancasila dan kehidupan beragama. Pemerintah lalu mengajak rakyat untuk mempererat persatuan dan terus memperkuat Nasionalisme. Berbagai jalan ditempuh untuk mewujudkannya mulai dari memanfaatkan pendidikan formal di sekolah hingga yang memuat pelatihan semi militer seperti program bela negara.
Berbagai macam reaksi muncul atas wacana yang digulirkan pemerintah tersebut. Muncul perdebatan seru terutama terkait bahaya komunis. Sementara untuk fundamentalisme agama banyak pihak cenderung mengamini. Fundamentalisme agama yang berujung terorisme memang lebih jelas bisa kita temui dan juga diamini oleh dunia internasional. Berbeda dengan komunis yang sudah lama tidak ada lagi wujudnya di Indonesia dan telah menjadi isu basi di kancah internasional. Sebenarnya ada lagi isme yang semestinya juga dianggap sebagai ancaman yang lebih nyata yaitu Fasisme. Sebuah isme yang membawa bayangan kita kepada NAZI di Jerman atau pendudukan Jepang dan pemerintahan Orde Baru di Indonesia. Sejarah telah menunjukkan bahwa fasisme adalah paham mengerikan yang menjadi biang dari banyak bencana kemanusiaan.
Timbul pertanyaan mengapa isu Fasisme tidak mengemuka di Indonesia. Ada baiknya untuk menelusuri pertanyaan tersebut terlebih dahulu kita mencoba mengenal apa itu Fasisme. Bagi kita sekarang tidak sulit untuk mengutuk pendudukan militer Jepang atau pemerintahan Orde Baru. Namun apakah kedua rezim fasis ini selalu mendapat cap demikian. Mengapa juga diantara berbagai penjajahan dan pemerintahan di Indonesia hanya dua era tersebut yang disebut fasis.
Fasis paling mudah kita kenali adalah dari gaya militerismenya. Itulah mengapa di Indonesia hanya pendudukan Jepang dan Orde Baru yang sering disebut fasis. Pada masa tersebut pendekatan militer begitu mencolok. Militer digunakan sebagai mesin utama untuk menjalankan kekuasaan. Supremasi sipil dalam pemerintahan praktis hilang. Jabatan strategis di pemerintahan yang pada umumnya diluar kewenangan angkatan bersenjata dijabat oleh anggota angkatan bersenjata aktif. Pemerintahan juga dijalankan dengan gaya komando ala militer.
Pendekatan semacam itu sejatinya tidak bisa berdiri sendiri. Senjata dan kekerasan fisik semata belum cukup. Keadaannya lebih rumit lagi jika kita melihat pada pendudukan banyak tokoh pergerakan terkemuka yang dulunya keras menentang penjajahan Belanda tiba-tiba mau bekerjasama dan masuk dalam struktur yang dibangun pemerintah pendudukan. Padahal mereka sebelumnya dikenal sebagai orang-orang yang tidak bisa ditundukkan dengan kekerasan semata. Mereka adalah orang-orang yang sudah kenyang dengan penjara kolonial. Orang seperti Sukarno bahkan pernah secara resmi ikut mengkampanyekan romusha. Kita di dunia militer juga tahu bahwa Sudirman yang kemudian menjadi salah satu sosok paling disegani sepanjang sejarah militer adalah mantan anggota PETA. Pasukan yang dibentuk dan dilatih oleh Jepang. Bagaimana kita menilai sikap mereka juga jutaan rakyat Indonesia yang pernah menyambut gembira masuknya tentara Jepang dan dikemudian hari ikut bagian dalam program-program pemerintah miiter Jepang. Apakah mereka adalah para kolaborator fasis atau orang-orang yang begitu saja bisa ditundukkan dengan ancaman moncong senjata?
Bagi kita yang terlahir di era pasca penjajahan Jepang kiranya tidak sulit untuk mengatakan bahwa penjajahan yang pernah terjadi di Indonesia adalah suatu tindakan kejam. Sebagaimana mereka yang terlahir di era pasca orde baru atau setidaknya masa akhir orde baru untuk mengatakan bahwa orde baru adalah rezim yang keji. Hanya apakah mereka yang benar-benar mengalami kebangkitan masa kebangkitan. Kiranya tidak selalu dan justru dari situlah kita bisa memahami mengapa pemerintahan fasis bisa berdiri. Sadar atau tidak massa secara emosional menerima atau bahkan merindukan fasisme. Maka jangan heran jika baik pendudukan Jepang atau Orde Baru pada mulanya disambut rakyat luas dengan gembira. Fasisme tidak begitu saja muncul di ruang kosong. Fasisme terutama justru bisa bangkit karena adanya situasi penuh ketakutan. Fasisme datang dan menawarkan perlindungan atau setidaknya ajakan untuk bersatu berjuang bersama menghadapi musuh. Jepang datang dikala kita sudah bosan dengan penjajahan Belanda sementara Orde Baru lahir di tengah krisis ekonomi, sosial, dan konflik politik yang memuncak di akhir demokrasi terpimpin.
Corak utama fasisme terutama bisa kita lihat pada adanya massa mengambang yang merasa terancam. Titik pijak itulah yang kemudian memungkinkan gaya militer bisa dijalankan. Rakyat kehilangan individualitasnya. Kita digiring menjadi satu kesatuan komando. Lebih lanjut atas nama ancaman terhadap negara, pemerintah berkuasa lalu bisa mendapat kewenangan ekstra diluar hukum, rasa keadilan dan kemanusiaan. Tuntutan mengorbankan segalanya atas nama negara menjadi mungkin. Celakanya ancaman atau musuh dalam paham fasis tidak perlu selalu konkret. Ancaman besar dianggap terus ada dan musuh dibayangkan tidak pernah mati. Negara terus dianggap tengah mengalami masa darurat. Ada upaya bukan hanya pengendalian atau pendisiplinan fisik tetapi juga cara berpikir. Kita dari sini setidaknya bisa sedikit memahami mengapa di Indonesia pada umumnya hanya pendudukan militer Jepang dan Orde Baru yang dianggap sebagai representasi fasisme. Juga sedikit memberi gambaran mengapa dua rezim itu sempat laku pada zamannya.
Kembali ke pertanyaan awal mengapa dewasa ini fasisme kurang diwacanakan oleh pemerintah berkuasa sebagai isme yang berbahaya. Bagaimana jika ternyata kita sedang digiring untuk merindukan fasisme ? Bagaiamana jika ternyata rezim yang berkuasa saat ini sedang meniti jalan para fasis yang telah gugur mendahului kita. Mari kita renungkan sembari membayangkan kegembiraan rakyat menyambut militer Jepang atau Soeharto yang selalu tersenyum.