Inside dan Outside History Dalam Pemikiran Robin George Collingwood

Politik

Robin George Collingwood (1889-1943) merupakan salah satu tokoh dalam bidang filsafat sejarah. Secara lebih spesifik, Collingwood merupakan tokoh aliran idealisme historis. Ia menyelesaikan studinya di Universitas Oxford, Inggris. Uniknya saat itu Universitas Oxford sedang dikuasai oleh aliran Realisme.

Pada masa itu pula di Inggris sedang terjadi perdebatan antara kelompok yang pro dan kontra terhadap pemikiran filsuf besar Jerman, George Wilhelm Freidrich Hegel (G.W.F Hegel) yang berairan idealis. Beberapa kondisi inilah yang mempengaruhi pemikiran Collingwood terhadap sejarah.

Pemikiran Collingwood sejatinya merupakan antitesa dari ilmu sejarah yang terlalu positivistik. Positivisme merupakan aliran filsafat yang sangat berpengaruh pada abad XIX. Positivisme meyakini jika kebenaran dapat diperoleh berdasarkan kajian terhadap data-data empiris. Dalam konteks sejarah, kebenaran hanya dapat diperoleh apabila data-data empiris dari masa lalu seperti arsip, dokumen, dan sebagainya dikaji melalui metode tertentu secara sistematis.

Kajian sejarah yang terlalu positivistik ini menimbulkan persoalan. Sejarah akan sulit dibedakan dengan ilmu-ilmu alam dan memiliki tendensi tafsir tunggal terhadap segala peristiwa masa lampau. Collingwood menolak tendensi sejarah yang terlalu positivistik tersebut.

Collingwood menganggap bahwa sejarah tidak bisa dilihat hanya berdasarkan rangkaian peristiwa yang tersusun dari data-data historis saja. Collingwood menilai bahwa fenomena pada masa lalu sesungguhnya tidak terletak pada rangkaian peristiwa tersebut. Rangkaian-rangkaian peristiwa tersebut hanyalah sebuah “tampilan luar” dari masa lalu saja. Bagi Collingwood, rangkaian-rangkaian peristiwa tersebut hanyalah ekspresi dari pemikiran yang menggerakkannya.

Pemikiran merupakan bagian sentral dalam masa lampau karena mampu menggerakkan tindakan aktor-aktor sejarah yang memilki kontribusi dalam berbagai peristiwa sejarah. Disini bisa kita lihat bagaimana pengaruh Hegel dalam pemikiran Collingwood. Perbedaannya, Hegel melihat gerak sejarah secara umum sebagai proses dialektis roh obyektif menuju roh absolut, sementara Collingwood melihat bahwa gerak sejarah ditentukan oleh pemikiran para aktor sejarah yang sifatnya lebih personal.

Lebih lanjut, Collingwood menilai jika seorang sejarawan idealnya memahami masa lampau berdasarkan dua aspek yakni outside history (sisi luar sejarah) dan inside history (sisi dalam sejarah). Outside history dapat diilustrasikan sebagai rangkaian peristiwa di masa lampau yang dapat dideskripsikan berdasarkan aspek-aspek fisik atau tindakan aktor sejarah. Sementara itu, inside history merupakan suatu gagasan, atau pemikiran para aktor yang memungkinkan kemunculan outside history tersebut.

Kedua hal tersebut tidak boleh dipisahkan satu dengan yang lain. Bagi Collingwood, seorang sejarawan tidak boleh hanya menjelaskan sisi luar dari masa lampau saja. Seorang sejarawan juga harus mampu menuliskan dan menghadirkan kembali sisi dalam dari suatu peristiwa masa lampau. Keberadaan inside history inilah yang membedakan pemikiran Collingwood terhadap aliran sejarah yang positivistik.

Collingwood memberikan contoh bagaimana gagasannya diterapkan. Collingwood menganalisis pembunuhan Kaisar Romawi, Julius Caesar oleh Brutus. Outside history berusaha mencari alasan apa yang membuat Brutus menusuk Caesar hingga tewas, semantara inside history akan berusaha menggali lebih lanjut tentang apa yang dipikirkan oleh Brutus sehingga ia memutuskan untuk membunuh Caesar.

Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dipahami jika kerja seorang sejarawan tidak hanya terbatas pada analisis atau semata-mata menjelaskan alur kronologi peristiwa di masa lampau saja. Sejarawan juga harus mampu memahami pemikiran-pemikiran yang terdapat di dalam peristiwa tersebut.

Penerapan pemikiran Collingwood dalam sejarah Indonesia dapat coba kita terapkan pada sejarah perjuangan R.A. Kartini. R.A. Kartini merupakan tokoh perjuangan emansipasi wanita dan modernisasi pada awal abad XX. Sebagai seorang bangsawan wanita yang mengenyam pendidikan ala Eropa modern, Kartini tumbuh menjadi tidak seperti bangsawan-bangsawan wanita pada umumnya saat itu.

Buku “Surat-surat Kartini : Renungan Tentang dan untuk Bangsanya” terjemahan Sulastin Sutrisno menunjukkan bagaimana Kartini tidak  bisa menerima perlakuan terhadap wanita pada zamannya yang hanya dijadikan konco wingking bagi kaum pria sehingga berhak diperlakukan semena-mena. Kartini menginginkan adanya kesetaraan antara kaum wanita dan kaum pria juga antara kaum bangsawan dan rakyat biasa.

Outside history dalam sejarah perjuangan Kartini dapat dilihat pada tindakan-tindakan yang dilakukan Kartini untuk mewujudkan emansipasi wanita. Kita bisa melihat dalam buku Kamajaya, Sembilan Srikandi Pahlawan Nasional, berkat dukungan suaminya, K.R.M. Adipati Ario Singgih Ario Adiningrat, Kartini mendirikan sekolah bagi kaum wanita di Rembang. Kartini menginginkan agar kaum wanita memiliki pengetahuan yang luas agar tidak terus-terusan tertinggal dari kaum pria.

Usaha Kartini ini tentu merupakan hal yang sangat luar biasa, mengingat pada masa tersebut kaum wanita hampir mustahil memiliki kesempatan untuk mengenyam pendidikan. Selain itu, Kartini juga sering mencurahkan isi pikiran dan hatinya pada Stella Zeehandelaar, melalui berbagai surat yang dikirimkannya kepada sahabatnya tersebut.

Sementara itu, inside history dalam sejarah perjuangan Kartini dapat dipahami melalui berbagai tulisan Kartini untuk memahami pemikiran Kartini. Pemikiran Kartini mayoritas terlihat dalam upayanya mewujudkan emansipasi bagi wanita Jawa di masanya. Kartini menginginkan wanita Jawa bisa seperti wanita-wanita Eropa yang bebas mengenyam pendidikan tanpa harus terkukung oleh adat-istiadat yang memaksanya tunduk pada kaum pria.

Selain itu, pemikiran Kartini juga sangat dipengaruhi oleh ide-ide Humanitarian yang menjunjung tinggi perikemanusiaan. Pemikiran Kartini inilah yang banyak mendorong tindakan-tindakannya untuk melakukan berbagai upaya dalam memajukan kaum wanita Jawa.

Sejarah perjuangan Kartini tersebut memperlihatkan hubungan antara inside history dan outside history sebagaimana dikemukakan oleh Collingwood. Aspek inside history dalam perjuangan Kartini yakni pemikirannya mengenai emansipasi wanita mendorong dirinya untuk mewujudkannya dalam tindakan nyata seperti mendirikan sekolah bagi kaum wanita (outside history). Dengan demikian, aspek inside history dalam aktor sejarah menjadi pendorong keberadaan aspek outside history yang memungkinkan masa lalu dianalisis serta dipahami secara lebih utuh.