Penulis: Joko Lelono
Matahari kian tinggi. Sinarnya tajam tanpa ada yang menghalangi. Sebuah siksaan jika berlama-lama berada di luar ruangan. Memang aku jarang bekerja di bawah terik matahari. Mungkin akan berbeda bagi mereka yang terbiasa. Toh, tetap saja jika kau lahir dan besar di negeri tropis seterbiasa dan seindah apapun matahari pada cuaca yang cerah kau tidak akan menjemur diri. Tidak seperti para turis yang datang dari negeri lintang tinggi.
Bangunan dengan lantai keramik, tembok batu bata, dan genteng tanah liat adalah tempat terbaik untuk berteduh. Bersembunyi dari teriknya matahari. Angin yang mengalir lembut bukan hanya menambah kesejukan tetapi juga pertanda, musim kemarau telah tiba. Mataku terasa berat tetapi suara rekaman orang mengaji telah terdengar. Ini hari Jumat. Artinya, aku harus bangkit. Ada kewajiban yang harus ditunaikan. Kalau mau jujur, aku pasti lebih suka tetap jatuh tertidur. Rasanya menjelang zuhur kantuk makin hebat kalau harinya adalah Jumat.
Masjid tidak terlalu jauh. Masih di RT yang sama dengan rumah kami. Setiap kali ke masjid aku pasti dengan motor. Seingatku tak pernah aku berjalan kaki ke masjid. Bukankah di negeri ini jalan kaki itu jika hanya jaraknya sangat dekat atau terpaksa karena tidak ada kendaraan. Orang-orang tua bercerita dulu orang jalan kaki itu biasa. Bahkan, untuk jarak yang cukup jauh dan membawa beban. Kini banyak hal berubah. Ada lebih banyak roda berputar dan minyak terbakar daripada kaki melangkah.
Kami yang satu rumah saja berangkat ke masjid dengan dua motor karena tiga orang dewasa terlalu sesak jika pergi dengan satu motor saja. Bapak, adik, dan aku. Belakangan sebenarnya jarang kami lengkap ada di rumah. Selepas SMA, aku dan adik lebih banyak ada di luar kota. Salat Jumat sebenarnya singkat saja. Hanya dua rakaat. Tidak seperti tarawih yang belasan bahkan puluhan rakaat. Hanya adanya khotbah yang menjadikannya terasa lama. Betapa khotbah selalu menjadi ujian terberat. Entah berapa orang yang benar-benar menyimak atau tertidur.
Khotbah di masjid kami (dan masjid-masjid kampung umumnya kukira) selalu disampaikan dalam bahasa Jawa Kromo. Bahasa yang aku ragu generasi muda memahaminya dengan baik. Aku sendiri paling mentok hanya pasif. Jika harus menggunakan aktif, aku merasa begitu terbata-bata. Maka kau bisa membayangkan betapa hebat usaha yang harus kulakukan untuk tetap terjaga. Lebih lagi tema khotbah rasanya tidak pernah berubah. Jika bulan Ramadan temanya tentang Ramadan, jika bulan Rajab temanya tentang bulan Rajab. Tanpa ada pengembangan ke peristiwa terkini. Tidak kontekstual kalau pakai bahasa yang lebih ilmiah.
Alangkah berbeda dengan khotbah di masjid kota dan kampus yang temanya bisa sangat variatif dan kontekstual. Tentang iptek, berbagai berita terkini, bahkan politik. Pernah satu kali aku hadir ketika penceramahnya adalah seorang ketua partai. Dia ketua partai baru karena ketua partai yang sebelumnya diciduk KPK. Lalu, mengapa ketua yang baru bersafari dari masjid ke masjid, aku tidak tahu pasti. Aku berani jamin bukan hal yang kusengaja menyimak khotbah Jumat dari seorang politisi.
Sepulang dari masjid jujur sesekali kami “ngrasani khotib”. “Khotbah ning desa ki ora menambah wawasan. Sapa wae sik khutbah isine podo”, Bapak memulai. Aku menjawab, “Lha iya Pak wong bukune sik diwoco pada”. Bapak memungkasi, “Uwis terimo wae sik penting lak wis melaksanakan kewajiban”. Mungkin memang begitulah khotbah Jumat di masjid kampung hingga Gus Dur pernah bilang pada masa jayanya Dwifungsi ABRI hanya sedikit bidang yang tidak dirambah militer, salah satunya ceramah di masjid. Namun, jika melihat kondisi sekarang nampaknya kita butuh pernyataan baru. “Hanya sedikit bidang yang tidak dirambah politik salah satunya khotbah Jumat di masjid kampung.”
Sekarang agama justru banyak digunakan sebagai kendaraan politik. Tablig akbar, pengajian dan khotbah-khotbah di masjid sekalipun sarat muatan politik. Sudah hampir lima bulan aku meninggalkan kota “J”, dan hampir lima tahun sejak aku selesai kuliah S-1. Maka cukup lama juga aku tidak mengikuti lagi apa yang terjadi di masjid-masjid kota dan masjid-masjid kampus. Aku lebih banyak mendengar khotbah di masjid kampung. Tiba-tiba aku termenung, “Inikah cara Tuhan melindungiku”. Dulu aku sering berharap khotbah di masjid kampung bisa maju seperti masjid-masjid kota atau kampus. Sekarang aku berharap sebaliknya.
Sekarang aku sangat tenang mendengar khotbah Jumat di masjid kampungku. Rasa kantuk itu tetap datang tetapi aku langsung terjaga dengan menahan tawa. Tetanggaku sudah lebih dulu tertidur dan dengkurannya begitu keras. Aku berpikir dia mungkin tetap mendapat pahala. Memang dia tidur hingga mendengkur tetapi dengkurannya membantu membuat orang lain tetap terjaga.
Sumber Gambar: link