Judul Buku: Kronik Penculikan Aktivis dan Kekerasan Negara 1998
Penulis: Muhidin M Dahlan
Penerbit: I: BOEKOE
Tahun Terbit: Januari, 2023
Jumlah Halaman: 506 Halaman
“Letak kliping dan arsip hanya satu strip di atas sampah jika tidak dikelola dengan baik.” —Muhidin M Dahlan
Jelang masa akhir kampanye pemilu 2024, terbitnya Kronik Penculikan Aktivis dan Kekerasan Negara 1998 membuat geger. Musabab, kala publik riuh dengan perdebatan kasus penculikan mahasiswa yang menyangkut Prabowo Subianto, salah satu kontestan pemilu. Para pemuja mantan Komandan Kopassus itu membela sang idola. Menganggap buku itu berisi kampanye hitam belaka.
Berisi potongan surat kabar, buku, dan majalah. Buku berlatar putih-merah ini ditulis oleh Muhidin M. Dahlan (Gus Muh). Seturut dengan judulnya, buku ini memuat bermacam bentuk aksi represif militer negara.
Tak tanggung-tanggung, aksi represif negara tak hanya berbentuk himbauan saja. Lihat saja potongan kliping di sampul bagian atas, tertulis “Jeritan Hati Keluarga Penculikan: Jika Meninggal di mana Kuburannya.” Represifitas itu berujung pada kematian.
Seram. Diculik, kemudian dibunuh. Dibunuh, kemudian tak diketahui di mana kuburnya.
Sebelum membuka buku ini, kita disuguhi headline “penculikan” dan pelanggaran HAM. Andi Achdian (dosen cum sejarawan) turut menulis esai pengantar “Monumen Ingatan”. Ada kalimat menarik dari esainya: “…orang bisa mengatakan beragam soal tentang masa lalu dengan beragam cara. Namun, cukup ‘katakan dengan arsip’ untuk membuat masa lalu itu hadir dalam ingatan kita.”
Gayung bersambut. Melalui prolognya, Gus Muh tampak sepaham dengan apa yang ditulis Andi Achdian, sejarawan. Ia menulis bahwa giat mengliping bukan sekadar tugas sekolah; mengliping adalah kerja politik. “Kliping bisa menjadi sangat penting untuk menyapu debu tebal (dis)informasi atas suatu peristiwa penting yang jauh dan berkepentingan sekali untuk dibersihkan.” tulisnya.
Buku bersampul putih-merah ini disajikan dalam lima babak. Babak pertama, Gus Muh menyusun beragam kliping pemilu 1997. Salah satunya, kliping peristiwa penyerbuan kantor PDI pada 27 Juli 1996 (Tragedi Kuda Tuli). Konon, kejadian ini menjadi titik balik Institusi ABRI untuk menguatkan barisan. Ini adalah upaya Gus Muh untuk melatari konteks politik sebelum geger 1998.
Narasi pengetatan ABRI berlanjut dalam babak kedua. Babak yang bertajuk “Prabowo Subianto: Bulan Separuh Bayang di Cijantung” bercerita tentang operasi militer yang dilakukan Prabowo. Gus Muh menyisir kliping tentang Prabowo dari masuk ABRI hingga melancarkan “tugas negara”. Melalui tafsirannya, ia mengajak pembaca untuk mengenali siapa itu Prabowo Subianto.
Akhir babak kedua ditutup dengan pernyataan Sumitro Djojohadikusumo, ayahanda Prabowo Subianto: “Bahwa Bowo itu arogan, iya. Kesannya memang begitu. Bahwa dia temperamental, iya. Tentang penculikan, dia memang menculik sembilan orang itu. Tapi perintah penculikan itu kan dia dapat dari atasannya.”
Tentu, hal itu bukanlah tafsir asal-asalan dari pernyataan. Pernyataan “arogan” itu mewujud dalam kutipan langsung. Begitulah kliping bekerja. Mengulas yang lalu, mengingat, dan memikirkannya.
Merajut babak sebelumnya, babak ketiga berisi tentang teater penculikan sepanjang 294 halaman. Gus Muh menulis secara kronologis dan mendetail. Tetap, ini membahas Prabowo dan nama penting lain. Di antaranya, aktivis mahasiswa yang bernama Pius Lustrilanang.
Pada 1998, Pius diculik oleh ABRI. Dalam bab ini, Gus Muh lebih banyak menulis kisah Pius dibanding beberapa aktivis lainnya. Pius berani bicara “kala itu”. Ia bercerita tentang apa yang dialaminya. Majalah Forum Keadilan mencatat ocehan Pius: “…Saya bicara begini dengan risiko mati, tetapi saya pilih itu karena saya ingin semua ini diakhiri.”
Babak keempat masih tentang penculikan, Gus Muh menceritakan pengakuan-pengakuan korban penculikan. Tak hanya itu, babak ini berisi ratapan dan harapan keluarga korban. Bab ini dibuka dengan sebuah kliping kronologi raibnya korban penculikan dan bagan statistik masa jabatan petinggi ABRI.
Tak cukup statistik, potongan wawancara para aktivis yang diculik pun tersemat dalam babak ini. Mulai dari Pius yang kembali pulang hingga Petrus Bima Anugerah yang hilang. Iya, hilang. Entah, hingga kini tak diketahui nasibnya. Tindakan represif itu seakan mengencingi Hak Asasi Manusia (HAM).
Tentu, menculik dan menghilangkan nyawa manusia adalah pelanggaran HAM. Hal ini sepaham dengan apa yang sering dikatakan oleh Munir Said Thalib, salah satu pendiri KontraS. Pada 1998, Munir dinobatkan sebagai “Tokoh 1998” versi majalah Ummat. Ia dipilih Ummat karena memiliki keberanian yang luar biasa untuk melakukan perlawanan terhadap politik kekerasan. Hidup Munir berada di tepi jurang; melawan institusi dan tokoh jahat dalam lakon bhayangkara negara. Benar, melalui kisah Munir-lah kita belajar berani.
Ya, pungkas lima babak. Buku ini ditutup tulisan Zen RS yang berjumlah sembilan halaman. Melalui epilog, Zen menulis ihwal mulabuka buku. Termasuk proses dirinya berkawan dengan Gus Muh hingga aktivitasnya mengumpulkan arsip jalanan. Zen mengingatkan pembaca akan pentingnya merawat ingatan melalui kerja dokumentasi. Menurutnya, arsip surat kabar sering kali menjadi benteng perlindungan terakhir menghadapi wabah amnesia sejarah.
Buku setebal 506 halaman ini penting untuk dibaca. Secara jelas, proses historiografi dapat dilakukan dalam beragam bentuk dan tak melulu dalam kanon satu bentuk saja.
Begitulah bila arsip dimanfaatkan dengan baik. Jika tidak, maka ia akan selesai dalam hitungan kilogram. Dibuang. Dijadikan bungkusan nasi? Atau bahkan dibakar karena memenuhi ruangan. Tragis.
Setidaknya, Kronik Penculikan Aktivis dan Kekerasan Negara 1998 memacu kesadaran bahwa mengliping dan mengarsip itu nggak sepele. Pada akhirnya, kliping dan arsip bukanlah sekadar “sampah” kan?