K’tut Tantri: Perempuan Revolusioner dari Nusa Damai (Bagian 1)

Tokoh

Muriel Stuart Walker adalah nama asli dari K’tut Tantri. Perempuan kulit putih yang didapuk sebagai anak angkat raja Bali. Ia lahir pada 19 Februari 1898 di Glasgow Skotlandia, sedangkan nenek moyangnya dituduh sebagai penyihir dan dihukum dengan cara yang tidak manusiawi.

K’tut Tantri dikenal sebagai anak angkat Raja Bangli yang bertahta bersamaan dengan menjelang tahun-tahun Indonesia merdeka. Nama K’tut Tantri sangat khas dengan identitas anak ke empat dalam masyarakat Bali. Jarang diketahui bahwa sebenarnya ia berdarah Bajak Laut Skotlandia dan besar di Amerika. Tidak banyak yang mengenal K’tut Tantri sebagai seorang pahlawan. Pahlawan di Indonesia identik dengan seorang bumiputera yang mengangkat senjata. K’tut Tantri adalah sebuah pengecualian. Ia perempuan pejuang yang terlupakan. Hubungannya dengan bumiputera yang akrab, bahkan masuk dalam keluarga pura kerajaan membuat ia dimusuhi dan dianggap tercela oleh bangsa Eropa.

Bangsa kulit putih yang merasa superior dan menganggap kaum bumiputera sebagai kaum rendahan. Di Bali, K’tut belajar adat istiadat perempuan Bali dari mulai cara berpakaian, berbahasa, sembahyang dan keterampilan lainnya. Interaksinya dengan kaum bumiputera membuat ia sadar, bahwa narasi dalam film Bali The Last Paradise hanyalah sebuah dongeng produk kolonialisme Belanda terhadap masyarakat dunia. Pada faktanya, Belanda justru bertindak rasisme terhadap kaum bumiputera dan mengambil keuntungan dari negara yang dijajahnya.

Siapakah K’tut Tantri?

“Cerita ini kudengar dari ibuku, seorang perempuat Skot. Kisah dari sebuah pulau tempat kami berasal. Kisah tentang seorang nenek moyangku, yang dituduh sebagai tukang sihir. Ia dimasukan ke dalam tong yang penuh dengan ujung-ujung paku yang ditancapkan dari luar. Lalu, tong itu digelindingkan dari atas ketinggian bukit. Tong itu menggolong-golong tiada hentinya. Lalu tong itu berhenti di kaki bukit, di sebuah dataran yang tandus”, ungkap Chelsea Islan selaku pemeran drama monolog K’tut Tantri dalam Indonesiana.TV ‘Di Tepi Sejarah: Nusa yang Hilang’.

Tidak diketahui pasti di tahun berapa hukuman atas nenek moyang K’tut Tantri dilakukan. Namun, istilah hukuman kepada orang-orang yang dituduh sebagai penyihir sangat identik dengan peristiwa yang terjadi pada abad pertengahan atau lebih dikenal dengan The Dark Age.

Melansir dari www.jw.org perburuan penyihir di Eropa dilakukan pada masa dimana gereja Roma melakukan dominasi tidak hanya secara agama, tetapi juga politik, ekonomi, dan sosial. Periode ini juga menandai terjadinya kemandegan pikir masyarakat Eropa yang pernah berjaya pada masa Yunani dan Romawi. Masyarakat dipaksa untuk selalu selaras dengan gereja. Sayangnya, gereja justru mendukung sistem feodalisme yang menempatkan rakyat sebagai pelayan kaum bangsawan. Selain itu, peristiwa zaman es kecil, adanya wabah pes, masalah kelaparan menjadi beberapa penyebab rakyat beralih untuk lebih mempercayai takhayul yang disebarkan oleh para penyihir karena gereja tidak mampu mengatasi dan menjawab semua persoalan tersebut.

Eksekusi terhadap mereka justru dilakukan oleh pihak gereja, dimana Paus Inosensius VIII secara resmi mengeluarkan fatwa bahwa ilmu sihir haram dan tuduhan kepada mereka tidak memerlukan bukti. Korbannya kebanyakan adalah kaum perempuan, para janda, orang miskin, lansia, dan tabib wanita dengan jumlah korban sekitar 2400 orang. Beberapa bentuk hukuman bagi mereka yang dituduh sebagai penyihir, misalnya kasus penangkapan, siksaan fisik, introgasi, dibenci masyarakat bahkan sampai dengan hukuman mati dengan cara yang tidak manusiawi. Dibakar hidup-hidup dengan cara disalib atau seperti yang terjadi pada moyang K’tut Tantri. Atas dasar masa lalu nenek moyangnya inilah, K’tut Tantri tahu untuk berpihak kepada mereka yang tidak berdaya.

Adapun Glasgow kota tempat K’tut Tantri lahir merupakan kota industri. Jauh sebelum itu, Skotlandia telah memainkan peran dengan bergabung bersama Kerajaan Inggris dan menamakan diri sebagai Britania Raya. Dampak adanya revolusi industri di benua Eropa terlihat dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Skotlandia. Misalnya, pada bangunan fisik, hampir satu abad sebelum K’tut Tantri ada, sudah berdiri sebuah museum yang saat ini menjadi museum tertua. Bangunan-bangunan di kota Glasgow masih sangat klasik sampai sekarang. Bangunan di kota Glasgow hampir sama dengan penggambaran arsitektur dalam film Harry Potter jika kita pernah menyaksikannya.

K’tut Tantri memilih pindah ke California Amerika Serikat karena kondisinya relatif lebih stabil pasca Perang Dunia I. Keterlibatan Inggris dalam perang tersebut membawa pengaruh buruk bagi rakyat. Kondisi ekonomi digambarkan bahwa terjadi kemiskinan akibat rusaknya industri, banyaknya korban perang dan terjadinya depresi ekonomi yang melanda dunia. Amerika yang mulai turun dalam kancah perang menjelang akhir babak, kemudian mulai muncul sebagai negara adikuasa dunia.

Tinggal di California sejak usia remaja bersama ibunya. Ia kemudian menikah dengan laki-laki asal Amerika yaitu Karl Jenning Pearson. Karirnya berkembang di dunia penulisan naskah di Hollywoood pada tahun 1930 sampai 1932. Ia bercerai dengan suaminya, dan secara tidak sengaja memulai petualangan ke Indonesia setelah menemukan tujuan hidupnya dalam sebuah film.

Bali The Last Paradise, sebuah Surga Impian

The Last Paradise adalah sebuah film yang K’tut Tantri saksikan di Boulevard. Kegundahan hatinya mengantarkan ia untuk berjalan-jalan di sekitar Hollywood dan membeli karcis di depan bioskop tersebut. Bali The Last Paradise bercerita mengenai sebuah pulau kecil bernama Bali yang digambarkan sebagai pulau yang masyarakatnya hidup damai, penuh keramahan dan tradisi memuliakan leluhur. Bagi K’Tut Tantri, masyarakat Bali berbeda dengan kebiasaan masyarakat Amerika. Ia melihat Bali sebagai pulau yang unik.

K’tut Tantri datang ke Indonesia pada tahun 1930an. Seorang perempuan mandiri yang melakukan perjalanan antar benua di tengah kondisi dunia yang masih marak dengan praktik kolonialisme, imperealisme, dan rasisme. Orang Eropa memandangnya dengan aneh karena keinginannya untuk tinggal dan menetap bersama bumiputera. Bermodalkan iming-iming narasi dalam film Bali The Last Paradise membuatnya bertanya mengenai situasi sebenarnya yang terjadi di wilayah Hindia Belanda.

K’tut Tantri belum memahami mengenai adanya stratifikasi sosial di masyarakat Hindia Belanda. Orang Eropa, kaum pendatang di Indonesia merupakan masyarakat kelas nomor satu yang kedudukanya paling mulia. Disusul dengan golongan kelas dua yang berisi keturunan campuran atau indo, keturunan Tionghoa maupun keturunan Arab. Adapun penduduk asli Indonesia sendiri menempati urutan terbawah dalam struktur masyarakat kolonial. Warga kulit putih yang bergaul dengan bangsa bumiputera dianggap menyalahi norma sosial. Bahkan K’tut Tantri yang baru datang ke Batavia saat itu mungkin belum tahu bahwa terdapat plang besar di gedung Societet de Harmonie yang kini lebih dikenal dengan gedung Sekretariat Negara RI yang bertuliskan Verboden voor Honden en Inlanders yang berarti ‘dilarang masuk untuk anjing dan orang bumiputera’.

Menurut Timothy Lindsey dalam karyanya yang berjudul The Romance of K’tut Tantri and Indonesia; Texts and scripts, history and identity, kedatangan K’tut Tantri ke Bali dengan cepat mampu menjalin hubungan dekat dengan keluarga kerajaan yang terletak di sekitar pegunungan kecil Bangli. Ia bertemu dengan Agung Nura, seorang pangeran yang menyambut dengan ramah keinginan K’tut Tantri untuk tinggal di Bali. Agung Nura diceritakan sebagai bangsawan yang mendapatkan pendidikan di University of Leiden Netherland. K’tut Tantri, seorang kulit putih warga negara asing yang baru datang di Bali dan mendapatkan karunia yaitu diangkat sebagai anak angkat oleh raja. K’tut Tantri mampu menembus kasta sosial dalam mayoritas agama Hindhu yang pada dasarnya bersifat tertutup. Ia dilimpahi karunia dengan menjadi perempuan Brahma dari keluarga pura.

Halauan itu tidak menjadikan K’tut Tantri gentar dengan keputusnnya. K’tut Tantri justru merasa heran dengan Kontroler Belanda yang datang memprotes kedekatannya dengan bumiputera berlandaskan atas dua alasan. Pertama, hak pengangkatan anak raja bukan atas permintaannya sehingga ia merasa kontroler tersebut lebih tepat jika berbicara dengan raja. Alasan lain yang lebih mencengangkan, bahwa kontroler tersebut terlihat dari fisiknya masih memiliki darah bumiputera, namun dengan tega ia melakukan diskriminasi dengan bangsanya sendiri.

K’tut Tantri mempelajari cara berbusana bermasyarakat Bali dibantu oleh Agung Nura. Dalam tulisannya di Revolusi di Nusa Damai ia menceritakan bagaimana ia menggunakan stagen dan kebaya atasan yang sederhana. Keanggunan busana pada perempuan Bali membuatnya berjanji untuk akan terus menggunakan pakaian adat selama tinggal di Bali. Pakaian gaya barat ia tinggalkan dan rasanya malah menjadi aneh ketika ia terpaksa memakainya untuk kepentingan tertentu.

“Di dalam Puri Agung Nura mengajariku bagaimana menjadi perempuan Bali. Cara berpakaian, berprilaku, juga berbahasa. Agung Nura adalah lelaki yang menyenangkan, berpengetahuan luas serta tahu dunia batin orang Bali”.

Agung Nura sebagai laki-laki yang hidup dalam tradisi sekaligus pernah mengenyam modernitas sewaktu pendidikannya di barat memahami cara berkomunikasi dengan K’tut Tantri. Ia mengajari K’tut Tantri belajar baca tulis bahasa Bali dan mengarahkan penggunaan Bahasa Bali Tinggi dan Bahasa Bali rendah dalam kehidupan sehari-hari. Kebersamaan mereka pada akhirnya memunculkan rasa antar keduanya.

Kisah Asmara K’tut Tantri

Menjelang kemerdekaan Indonesia, banyak sekali tokoh-tokoh perjuangan yang menomor duakan dunia cinta dengan lawan jenis dan mendidikasikan hidupnya untuk melepaskan Indonesia dari penjajahan. Dari kalangan laki-laki kita mengenal wakil presiden pertama kita yaitu Bung Hatta yang berjanji untuk tidak menikah sebelum Indonesia merdeka. Tokoh lainnya adalah Bung Tomo dengan Sulistina yang kisah cintanya bersemi di medan perang memperebutkan kemerdekaan, atau cerita Ki Hadjar Dewantara yang bulan madu di pengasingan.

Tokoh-tokoh yang menunda pernikahan demi mendahulukan kemerdekaan kebanyakan didominasi oleh laki-laki. Publik lupa bahwa ada K’tut Tantri dan Agung Nura yang kisah cintanya tidak terlalu familiar. Perasaan mereka disatukan oleh keterhubungan pikiran dalam setiap kebersamaan. Cerita mengenai masa lalu nenek moyangnya yang diperlakukan tidak adil, perilaku diskriminasi yang ia saksikan langsung selama tinggal di Bali berpadu dengan gagasan dari Agung Nura mengenai gerakan, cita-cita serta perjuangan kaum bumiputera.

Mengutip tulisan K’tut Tantri di Nusa Damai, keputusan K’tut Tantri untuk hidup di luar pura didukung oleh raja dengan syarat ia rutin kembali setiap minggu untuk sembahyang. Ia menyawa tanah, merehabilitasi bangunan yang ada dan membayar pajak kepada Pemerintah Kolonial Belanda. K’tut Tantri menyadari bahwa bumiputera Bali memiliki jiwa seni yang tinggi yang kemudian mendorongnya untuk membuat studio lukis. Tidak hanya itu, ia juga mendirikan hotel tanpa diskriminasi. Hotel untuk tamu Belanda, Amerika, Cina, Indonesia atau tamu lainnya. Hotel semua bangsa.

Agung Nura yang menyadari ancaman yang mengintai terhadap K’tut Tantri. Ia menawari K’tut Tantri untuk menjadi istri keduanya. Baginya, menikahi K’tut Tantri menjadi cara yang efektif untuk menghalau gangguan Belanda. Di sisi lain, pernikahan juga menjadi simbol bersatunya dua orang yang saling mencintai. Meski demikian, K’tut Tantri memilih untuk menolak pinangan Agung Nura. Bagi K’tut Tantri, kedatangannya ke Bali bukan untuk merebut kebahagiaan perempuan lain tapi untuk menemukan kebebasannya sendiri.

“Nura, aku tahu pernikahanmu dengan ratu disebabkan oleh perjodohan adat yang terpaksa kau terima. Tapi itu bukan alasanku untuk tidak menghormati ratu, dengan menjadi istrimu aku akan menyebabkan kesulitan untukmu, ayah dan semua keluarga Pura. Perempuan berkulit putih menjadi istri lelaki bumiputera tetaplah tidak lumrah. Terlebih lagi menjadi istri kedua, sekalipun lelaki itu seorang pangeran. Kolonialisme mustahil dipisahkan oleh pikiran rasial. Kutipan dialog penolakan K’tut kepada Nura dalam monolog ‘Di Tepi Sejarah: Nusa yang Hilang’.

Tidak lama setelah penolakan itu, ia dan Agung Nura lebih jarang berkomunikasi karena insiden penangkapan K’tut Tantri yang terlibat dalam gerakan bawah tanah anti Jepang. Ia di penjara sedangkan Agung Nura dilepaskan karena merupakan anggota kerajaan. Bahkan sampai dengan K’tut Tantri tinggal di Surabaya mereka masih berkirim surat, hingga datang kabar terakhir bahwa Agung Nura telah meninggal.

 

Sumber Gambar: www.kompas.com dalam artikel ‘Kisah K’tut Tantri, Perempuan Amerika yang Bantu Sebarkan Perjuangan Indonesia lewat Radio