K’tut Tantri: Perempuan Revolusioner dari Nusa Damai (Bagian 2)

Tokoh

K’tut Tantri, Perempuan Asing Pejuang Revolusi Indonesia

Kedatangan Jepang yang berhasil membombardir pangkalan militer Amerika Serikat di Pearl Harbour berdampak pada Belanda yang saat itu masuk dalam koalisi ABDACOM (American British dutch Australian Command). Jepang berhasil menduduki Indonesia bekas jajahan Belanda. Selain menerapkan propaganda 3A yakni Jepang pemimpin Asia, Jepang Pelindung Asia dan Jepang Cahaya Asia, ia juga menerapkan beberapa kebijakan.

Kebijakan-kebijakan itu yaitu pelarangan penggunaan bahasa Belanda dan menggantinya menggunakan bahasa Jepang, diperbolehkannya penggunaan bahasa Indonesia untuk menarik hati bangsa Indonesia, pembentukan Rukun Tetangga (RT) Rukun Warga (RW) secara hierarkis untuk memantau pergerakan orang-orang yang mencurigakan serta warga kulit putih dan warga keturunan Arab maupun Cina yang pada masa pendudukan Belanda menempati posisi pertama dan kedua mengalami perubahan.

Alhasil, golongan bumiputera mendapatkan prioritas pendidikan maupun kesempatan sosial, meskipun sebenarnya semua maksud itu bermuara pada tujuan yang menguntungkan Jepang. K’tut Tantri perempuan dengan fisik khas kaukasoid yang berkulit putih dan berambut pirang dicurigai sebagai mata-mata Amerika. Terlebih lagi keterlibatannya dalam gerakan bawah tanah anti Jepang terbongkar. Ia kemudian dipenjarakan dan disiksa oleh tentara Jepang.

“Di tengah siksaan tentara Jepang juga hinaan yang harus kuterima sebagai perempuan setiap kali dipanggil aku kembali ke sel dalam keadaan tidak sadar”, ceritanya dalam buku Nusa yang Damai.

Sekitar tiga minggu selama K’tut Tantri dipenjarakan, Jepang kemudian kalah dalam Perang Dunia II dari oposisinya yaitu koalisi Amerika Serikat. Ia kalah tanpa syarat dan secara otomatis Jepang diwajibkan menjaga status quo di Indonesia. Jepang harus memastikan Indonesia tetap dalam kondisi stabil sampai dengan waktu serah terima kepada sekutu. Meskipun agenda itu berhasil digagalkan karena Indonesia memerdekakan dirinya sendiri pada proklamasi pada 17 Agustus 1945. Di sisi lain, Jepang juga tidak ingin sekutu menemukan ada tawanan Amerika yang menderita atau mati, sehingga kemudian K’tut Tantri pun turut dibebaskan dan diobati di rumah sakit.

Bersamaan dengan pulihnya kondisi K’tut Tantri, ia kemudian didatangi oleh beberapa pejuang revolusi. Beradasarkan sumber monolog “Di Tepi Sejarah: Nusa yang Hilang” ketika pasukan pemberontak dari Surabaya menawarkan untuk melindungi dengan segenap jiwa raga mereka mengantarkan K’tut Tantri jika ingin pulang ke Amerika, merupakan salah satu adegan yang menyentuh jiwa. Adegan ini menggambarkan rasa terima kasih Indonesia kepada K’tut Tantri yang memihak Indonesia dalam situasi apapun. Pejuang bumiputera dari Surabaya itu membacakan surat di depan K’tut Tantri.

“Saudara K’tut Tantri kami pejuang gerilya dari Jawa Timur mengetahui benar penderitaan dan siksaan yang telah saudara jalani selama dalam tawanan Jepang. Demikian pula dengan tindakan Belanda yang mengejar-ngejar saudara selama sekian tahun di Bali. Saudara telah memperlihatkan kecintaan dan pengertian selama bertahun-tahun terhadap rakyat kami. Oleh karena itu, kami pemberontak dari Jawa Timur berjanji pada diri kami untuk membantu saudara dengan jalan apapun juga. Supaya saudara dapat berkumpul kembali dengan orang-orang senegrimu di Jakarta. Ini artinya saudara akan diselundupkan melalui daerah pendudukan Belanda dan Inggris dan kami akan mengusahakan agar saudara selamat sampai dengan kediaman Konsul Amerika. Kemudian, saudara akan diangkut kembali ke amerika dimana saudara akan mendapatkan pengobatan, ketenangan yang cukup dan ketenangan jauh dari keributan di Jawa”.

“…akan tetapi, kami juga memiliki usul yang kedua menyangkut kepentingan kami. Sesungguhnya kami berharap agar K’tut Tantri tidak meninggalkan kami kala detik-detik bersejarah Indonesia menentukan nasibnya. Kalau kesehatannya mengizinkan menjadi pengharapan kami bahwa K’tut Tantri dengan kemauan hati untuk tinggal dan menyumbangkan tenaganya pada tanah air kami menuju kemerdekaan. K’tut Tantri mengikuti kami dalam perjuangan menentukan nasib sendiri. Akan tetapi, kami ingin menegaskan bahwa perjalanan yang akan ditempuh tidaklah mudah, melalui bahaya, melalui kepahitan dan kekurangan jauh dari kemewahan dan akan sering menghadapi kelaparan. Kami tidak dapat memberikan apa-apa sebagai balasan atas pengorbanan yang demikian, kecuali cinta kasih dan penghargaan dari 70 juta rakyat Indonesia”. Tandas isi surat tersebut.

Jiwa pemberani K’tut Tantri telah terlihat sejak ia memutuskan untuk pindah ke Bali. Negeri yang ia tahu melalui sebuah cerita dalam film. Tanpa tahu bahasa, adat istiadat, maupun kenalan ia nekat datang untuk mencari kebahagiaan yang didambakannya. Sayangnya, sesampainya di negeri ini justru ia dihadapkan pada fakta yang berbeda 180 derajat dari cerita yang dinarasikan dalam film Bali The Last Paradise. Perlakuan diskriminatif dan rasisme yang diterimanya dari Pemerintah Kolonial Belanda malah menarik ingatan masa kecil moyangnya. K’tut Tantri membulatkan tekad untuk memihak bumiputera. Ia berpihak pada kemanusiaan.

Jalur Perjuangan yang dipilih K’tut Tantri

Pada umumnya, terdapat dua jalan yang digunakan oleh para tokoh perjuangan. Jalur keras yaitu dengan cara berkonfrontasi secara langsung di medan perang. Misalnya Jenderal Sudirman, Bung Tomo dan Abdul Haris Nasution yang melakukan perang gerilya. Taktik gerilya ini dianggap efektif sebagai pola bertahan dari musuh, disaat kondisi Indonesia yang baru merdeka dan tidak banyak memiliki aset perang. Keterbatasan ini perlu diimbangi dengan perjuangan jalur diplomasi dengan tujuan untuk mempengaruhi negara lain agar mendukung Indonesia dan juga negosiasi dengan Belanda yang ingin kembali menduduki Indonesia.

Sejak masa pergerakan, bumiputera Indonesia telah banyak yang terjun sebagai jurnalis. Pers memungkinkan mereka menuliskan mengenai ide-ide kemerdekaan. Berbagai tulisan tersebut bertujuan untuk memberikan kesadaran kepada masyarakat luas. Dunia pers meliputi surat kabar, majalah, siaran televisi ataupun siaran radio seperti halnya yang dilakukan oleh K’tut Tantri. Ia menyebarkan gagasan kemerdekaan Indonesia melalui jalur siaran radio pemberontak yang dikelola oleh Bung Tomo yaitu ‘Suara Indonesia Merdeka’ di Surabaya. K’tut Tantri menjadi ujung tombak siaran dalam berbagai bahasa yang memberitakan perjuangan Indonesia agar informasi tersebut mudah dipahami oleh masyarakat dunia.

K’tut Tantri tokoh pejuang revolusi berkulit putih satu-satunya yang berdiri untuk Indonesia. Ia tidak segan untuk melakukan tangkisan kepada pejabat Belanda yang membuat sayembara lewat radio dengan mengiming-imingi uang 50.000 gulden bagi mereka yang mampu menangkapnya. Ia dengan tegas justru menawarkan diri untuk datang ke markas Belanda dengan sukarela asal uang itu disumbangkan sebagai modal perjuangan bangsa Indonesia. K’tut Tantri tahu bahwa Indonesia pada awal kemerdekaannya tidak memiliki apa-apa. Aset-aset gedung peninggalan Belanda merupakan hasil nasionalisasi pemerintah, sedangkan keuangan Indonesia disokong oleh sumbangan dari Sri Sultan Hamengkubuwono IX senilai 6.000.000 gulden dan sumbangan emas dari masyarakat Aceh Darussalam. Adapun senjata yang dimiliki oleh para pejuang kemerdekaan kebanyakan berasal dari hasil rampasan perang terhadap lawan.

“Tuan-tuan harap tau uang gulden tidak berharga di Indonesia, kami mempunyai mata uang kami sendiri. Tapi jika tuan-tuan ingin menyumbangkan 50.000 gulden bagi bangsa Indonesia untuk melanjutkan perjuangan kemerdekaan Indonesia, aku akan datang ke markas tuan atas kemauan aku sendiri”.

Dilansir dari media www.regional.kompas.com Kisah K’tut Tantri Perempuan Amerika yang Bantu Sebarkan Perjuangan Indonesia lewat Radio, menunjukan keberaniannya berkonfrontasi di depan meja siaran radio. Ia merupakan sosok yang membacakan pidato 10 November 1945 dengan bahasa Inggris. Tidak hanya itu, ia juga mengajak perwakilan Denmark, Swiss, Uni Soviet dan Swedia untuk ikut memprotes pengeboman dan tindakan Inggris di Surabaya. Sampai dengan ia dijuluki sebagai ‘Surabaya Sue’ atau penggugat dari Surabaya. Bahkan, ia disebut oleh Soekarno sebagai satu-satunya perempuan asing yang terang-terangan memihak kita. Beberapa sumber tulisan lain, ia diceritakan sebagai detektif yang mampu menangkap penghianat pemerintah yang ingin menggulingkap Soekarno.

K’tut Tantri digambarkan sejak awal dalam monolog Di Tepi Sejarah: Nusa yang Hilang sebagai perempuan yang mandiri dan memiliki hati yang teguh sampai dengan akhir. Ia meninggal di salah satu panti jompo di kota Sydney Australia pada Juli 1997. Tidak masuk dalam daftar sebagai pahlawan nasional, namun ia mendapatkan anugrah Bintang Mahaputra Nararya dari Pemerintah Republik Indonesia pada November 1998.

 

Sumber Gambar: Perpustakaan Nasional Republik Indonesia