Membina Ketamakan, Membinasakan Hutan

Politik Sosial Budaya

Belum lama ini kita memperingati tanggal 10 Januari yang sakral bagi aspek lingkungan hidup. Tidak setenar tanggal sehari setelahnya yang diabadikan grup musik GIGI dalam tembangnya, namun berpengaruh besar terhadap masa depan dunia. Di tanggal tersebut masyarakat memperingati Hari Lingkungan Hidup Indonesia yang berbarengan dengan Hari Gerakan Satu Juta Pohon. Mundur dua bulan sebelumnya, kita mengenal dua peringatan yang berkaitan dengan pohon yakni hari pohon internasional (21 November) dan hari menanam pohon Indonesia (28 November). Peringatan tersebut dimaknai agar kita tidak lupa perihal peran vital pohon dalam kehidupan manusia. Hutan memegang porsi besar terkait habitat bertumbuhnya pohon. Alam hutan tidak dapat dipisahkan dari keberadaan pohon yang memegang peran penting dalam keberlangsungan hidup manusia. Selain berkontribusi dalam pasokan oksigen di udara, pohon menyerap air dalam tanah. Potensi terjadinya bencana alam berupa banjir dan longsor tereduksi oleh keberadaan pohon dalam jumlah banyak.

Berdasarkan perkiraan yang disampaikan oleh Forest Watch Indonesia (FWI) terjadi deforestasi sebanyak 5,7 juta hektar hutan dalam kurun waktu 2013-2017. Belakangan ini kita dihadapkan pada fakta bahwa hutan di Papua menghadapi ancaman serius akibat perluasan kebun kelapa sawit. Investigasi visual yang dilakukan oleh Forensic Architecture berbekal video udara yang diambil Greenpeace Internasional dan sistem geolokasi ditemukan data bahwa pembukaan hutan dilakukan dengan menggunakan api secara sengaja alias pembakaran hutan terjadi secara terkoordinir. Upaya pembukaan lahan untuk kepentingan ekonomi ini berpengaruh besar terhadap daya kekuatan hutan dalam menahan potensi air bah yang mengarah ke permukiman penduduk.

Banjir menjadi bencana yang kerap menyambangi Nusantara. Musibah banjir yang melanda Kalimantan Selatan awal tahun 2021 ini menelan korban jiwa dan kerugian material yang tidak sedikit. Berbagai analisa penyebab timbulnya banjir bermunculan. Cakupan luas lahan hutan yang semakin tereduksi kepentingan tambang dan sawit menjadi sorotan utama. Faktor penyebab tersebut dalam berbagai kasus banjir di Indonesia tidak jarang dibarengi pula karena normalisasi air sungai yang tidak berjalan dengan lancar, banyaknya wilayah di tepi sungai yang diokupasi warga sebagai pemukiman, hingga perilaku masyarakat dalam membuang sampah di sungai yang belum teratasi. Beberapa cara yang ditempuh terlihat belum mampu menanggulangi banjir. Terkadang kita kurang belajar bahwa gejala yang timbul di masa kini memiliki keterkaitan dengan apa yang telah bergulir di masa sebelumnya.

Eksploitasi Hutan Era Kolonial

J.W.H. Coordes dalam bukunya yang berjudul Hutan Jati di Jawa menuliskan bahwa di era Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC), eksploitasi hutan secara berlebihan telah marak terjadi. Selain bernilai jual tinggi, kayu jati diperlukan oleh VOC sebagai bahan pembuat kapal & membangun infrastruktur Belanda seperti benteng. M.C. Ricklefs dalam buku Sejarah Indonesia Modern turut memperkuat pernyataan tersebut. Ia menuturkan konsumsi hutan jati oleh VOC mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Ambisi untuk mewujudkan aspek Gold dalam slogan imperialisme kuno (Gold, Glory, Gospel) memicu penebangan hutan semakin intensif dilakukan tanpa memikirkan tahap rehabilitasi. VOC semakin memperoleh keleluasaan dalam penebangan seiring dengan keberhasilan mereka mendekatkan diri pada lingkungan kerajaan lokal. Dengan memberikan bantuan kepada salah satu pihak raja lokal yang terlibat konflik internal, VOC meminta imbalan atas jasanya. Salah satunya adalah izin eksploitasi hutan di wilayah kerajaan.

Tidak cukup sampai di tahap tersebut, VOC bahkan bertindak lebih jauh dengan mengeluarkan peraturan Blandongdiensten pada tanggal 30 Oktober 1787 yang mengatur penebangan hutan dengan menunjuk Dinas Blandong sebagai pengelola. Adanya Blandongdiensten yang mengatur sistem kerja, sistem pengawasan, hingga teknis setoran memicu para bupati yang dibebankan target produksi semakin giat untuk mengajak masyarakat menebang hutan. VOC memang menjanjikan bonus bagi bupati yang dapat memenuhi dan melampaui target yang ditetapkan. Oleh karena itu tidak mengherankan jika asas kelestarian hutan tidak terlalu digubris oleh pimpinan daerah tersebut.

Pemerintah kolonial sebenarnya menyadari bahaya di balik penebangan hutan secara kebablasan, namun upaya yang dilakukan untuk mengantisipasi kurang sepadan dengan nafsu untuk memburu pundi-pundi uang dari kayu jati. Di era pemerintahan Herman Willem Daendels sebenarnya mulai terbersit usaha untuk memperbaiki hutan, namun singkatnya masa kekuasaannya menyebabkan niatnya tidak berjalan maksimal. Ketika Nusantara dikuasai oleh Inggris, Thomas Stamford Raffles tidak menerapkan kebijakan yang mencerminkan langkah signifikan dalam merehabilitasi hutan.  Fenomena yang lebih parah terjadi di era cultuurstelsel. Sistem tanam paksa yang dicetuskan oleh Johannes van den Bosch memicu semakin meningkatnya konsumsi kayu. Pembangunan aneka pabrik mengakibatkan banyak pohon ditebangi. Hal ini masih ditambah adanya keperluan kayu untuk urusan sarana dalam perang melawan Imam Bonjol dan Diponegoro. Pemandangan ini ibarat deja vu kala VOC bercokol di tanah Jawa.

Bencana dan Refleksi Sepanjang Masa

Titik balik dalam upaya untuk bersahabat dengan alam terjadi ketika pada tahun 1849 kala J.J. Rouschen mendesak pemerintah kolonial untuk memperbaiki pengelolaan hutan di pulau Jawa. Pada tahun 1858 pemerintah Belanda membentuk komisi perancang peraturan kehutanan di bawah wewenang F.H. Kinderen, F.G. van Bloemen Wanders, dan E. Van Roessler. Setelah era tersebut secara bertahap dilakukan upaya-upaya untuk memulihkan hutan-hutan yang sebelumnya telah dibabat secara masif. Aulia Rahmat Suat Maji dalam buku Wong Blandong mengatakan bahwa keseriusan tersebut dibuktikan dengan adanya Peraturan Kehutanan 1865, Peraturan Kehutanan 1874, hingga Peraturan Kehutanan 1897.

Ketika penebangan hutan marak terjadi, di Batavia terjadi pula banjir besar yang membuat rezim Jan Pieterszoon Coen pontang-panting. Banjir pada tahun 1621 tersebut terjadi salah satunya disebabkan oleh kebijakan Coen merombak tata kota Batavia sebagai pusat pemerintahan Hindia Belanda secara kilat tanpa mempertimbangkan aspek keseimbangan lingkungan secara matang. Sebuah ambisi yang diwujudkan dengan mendirikan berbagai bangunan pendukung pemerintahan yang tentu saja dilakukan dengan membabat lahan hijau. Banjir yang tercatat sebagai yang pertama di era penjajahan Belanda ini merupakan awal dari bencana serupa yang rutin menyambangi ibu kota seperti banjir di era Joan Maetsuycker (1654), James Louden (1872), dan Carel van der Wijk (1893). Hal ini membuktikan bahwa upaya pemerintah Belanda dengan menerbitkan Peraturan Kehutanan tidak serta merta mampu menyelamatkan masyarakat dari bencana banjir dalam sekejap.

Di era modern, banjir masih sering terjadi. Kepedulian manusia terhadap lingkungan sekitarnya diuji. Himbauan mengenai pentingnya sikap membuang sampah tidak di sembarang tempat, tidak membangun pemukiman tepat di tepi badan sungai, hingga tidak menggunduli hutan rasanya sudah berulang kali disuarakan oleh pemerintah maupun aktivis lingkungan. Kalangan anak muda pun coba dirangkul oleh organisasi seperti Greenpeace, Earth Hour, dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI). Sebuah upaya agar kesadaran cinta lingkungan juga merambat ke generasi muda dan terus ditularkan ke generasi di bawahnya.

Di sisi lain kita juga dihadapkan pada tingkah laku yang tidak pro lingkungan seperti pembukaan lahan di hutan secara berlebihan. Hal ini misalnya tercermin dalam insiden yang terjadi setahun silam di lereng Gunung Lawu. Kawasan hutan di petak 45-2 Resort Pemangkuan Hutan (RPH) Tlogodringo Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Lawu Utara yang seharusnya dijaga keasriannya justru hendak disulap untuk kepentingan wisata. Kabar yang sempat viral tersebut tentu saja hanya satu di antara sekian kasus yang terjadi. Maraknya pembangunan vila di kawasan Puncak Bogor menjadi contoh abadi perihal alih fungsi lahan yang berjalan dengan kurang positif. Pertanyaannya adalah apakah kita hanya tersadar tentang pentingnya menjaga ekosistem hutan ketika bencana telah melanda. Apakah aksi mengutuk tindakan yang merusak hutan tidak disertai dengan upaya nyata untuk menjaga hutan. Apakah bencana banjir dan kerusakan hutan hanya menjadi tragedi kemanusiaan yang kita renungi setiap tahun tanpa berbuat langkah perubahan ke depannya. Diperlukan upaya bersama antara masyarakat dan pemerintah dalam menanggulangi masalah lingkungan.

Sejarah memang hanya terjadi satu kali. Dalam ilmu sejarah istilah einmalig mempertegas hal tersebut. Namun kita terkadang lupa bahwa sejarah memiliki konsep pengulangan. Hal yang berulang bukan peristiwanya melainkan fenomenanya. Jika kita enggan berkaca dari pengalaman sebelumnya maka setiap musibah yang terjadi hanya akan menjadi bahan refleksi sepanjang masa tanpa adanya upaya untuk belajar dari sejarah. Mari bergerak!

 

Sumber Gambar: bloranews.com