Memintal Sejarah Serat Nanas

Sosial Budaya

Tidak banyak orang yang tahu bahwa salah satu jenis tanaman penghasil serat alam kualitas unggul dan ramah lingkungan adalah serat nanas. Disebut serat nanas karena mirip tanaman nanas. Hanya saja, ukuran tanaman ini lebih besar daripada tanaman nanas sehingga bisa disebut sebagai tanaman raksasa. Tinggi batang bunganya saja bisa mencapai 14 m. Panjang daun serat nanas mencapai 132,96 cm. Lebar daun mencapai 10,23 cm. Berat satu daun mencapai 400 gram (Arini Hidayati Jamil, Parnidi, dan Yoga Angangga Yogi, “Mengenal Perbedaan Tiga Spesies Agave”,  Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian Vol. 39 No. 4, 2017). Besar bukan?

Menurut Budi Santoso, “Peluang Pengembangan Agave Sebagai Sumber Serat Alam,” Perspektif, Vol. 8 (1) (2009), 84–95, tanaman bernama latin Agave sp ini mampu menghasilkan serat dengan karakter kuat, tahan kadar garam yang tinggi, dan ramah lingkungan. Karakteristik inilah yang membuat kebutuhan serat nanas dunia sangat tinggi, yaitu 319.000 ton/ tahun.

Santoso mengklaim Indonesia pernah memroduksi 80.000 ton serat nanas. Hanya saja, produksi tersebut terus menurun seiring dengan peningkatan produksi plastik sebagai bahan serat sintetis. Padahal, Indonesia pernah menjadi penghasil serat nanas yang besar kala masih bernama Hindia Belanda.

Berdasarkan Mededeelingen van het Centraal Kantoor voor de Statistiek No. 63, (Koleksi Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur No. 65/4/Landbouw), Hindia Belanda pernah mengekspor sekitar 46.133,82 ton (netto) atau 47.108,92 ton (bruto) dengan nilai 17.968.284 gulden pada 1927. Agave sp menempati porsi produksi tertinggi di antara tanaman-tanaman penghasil serat lainnya seperti kapuk, yuta jawa, manilla hennep, dan bambu.

Tanaman serat nanas sejatinya bukan asli Indonesia. Menurut G. van Iterson Jr dalam Vezelstoffen (Harlem: H. D. Tjeenk Willink & Zoon, 1917), tanaman ini dibawa oleh orang-orang Eropa dari benua Amerika pada abad ke-17. Kala itu, Agave sp belum dibudidayakan dan hanya digunakan untuk membuat pagar oleh orang-orang Belanda. Jenis yang dibawa pada masa itu adalah Agave cantala.

Pada akhir abad ke-19, beberapa jenis Agave sp seperti Agave cantala, Agave sisalana, dan Agave rigida mulai dibudidayakan secara masif. Budidaya Agave sp terkait dengan melonjaknya kebutuhan karung goni untuk kebutuhan industri agraria. Wadah menyimpan paling baik bagi kopi, gula merah, tepung tapioka, jagung, gabah, kedelai, dan kacang adalah karung goni berbahan Agave. Kelebihan karung Agave adalah kuat dan berpori-pori sehingga proses oksidasi berjalan dengan baik (Santoso, 2009: 88).

Melihat lonjakan kebutuhan karung goni dan tali temali untuk keperluan industri, para pemodal asing pun tertarik untuk menanam Agave sp di lahan-lahan yang mereka sewa. Apalagi, tanaman ini bisa tumbuh di lahan yang kurang subur, beriklim kering, curah hujan rendah, dan berkapur. Para pemodal asing yang sempat pening akibat gagal panen kopi pun bisa bernafas lega. Mereka menemukan solusi dari kegagalan tersebut dengan menanam Agave sp baik secara monokultur maupun tumpangsari.

Produksi serat nanas tidak melulu untuk bahan baku karung goni dan tali temali, tetapi juga untuk produksi benang halus, tas jaring, tempat tidur gantung, kabel, tikar, dan alat senam. Negara-negara tujuan ekspor serat nanas di antaranya Belanda, Inggris Raya, Jerman, Perancis, Belgia, Italia, Spanyol, Denmark, Swedia, Kanada, Amerika, India, Jepang, Australia, dan Selandia Baru (Mededeelingen van het Centraal Kantoor voor de Statistiek No. 56, Koleksi Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur No. 65/4/Landbouw).

Dengan budidaya Agave sp secara masif, praktis tiada lahan menganggur di tanah Jawa. Bahkan, lahan Vorstenlanden Mangkunegaran yang semestinya ikut program penarikan tanah apanage pun tetap disewakan. Kuatnya sokongan modal swasta dan politik pemerintah kolonial membuat KGPAA Mangkunegara IV (1853-1881) membiarkan praktik sewa tanah untuk beberapa lahan di wilayahnya. Salah satunya adalah lahan di Mento Toelakan, Wonogiri yang menghasilkan Agave sp terbesar di Vorstenlanden Surakarta.

Mangkunegaran sendiri ikut menanam Agave sp guna menambah variasi tanaman komoditas yang dibudidayakan oleh Kanjeng Gusti.  Menurut Adhi Agus Wijayanto dalam “Dampak Perusahaan Serat Nanas Mojogedang Terhadap Perubahan Sosial Ekonomi Masyarakat Tahun 1922-1937,” Skripsi Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Sebelas Maret Surakarta (2009), hasil panen Agave sp milik Praja Mangkunegaran terbilang sukses.

Pada 1930-an, Hindia Belanda dilanda depresi ekonomi. Kegiatan ekspor serat nanas terhambat. Banyak pengusaha merugi, termasuk penguasa cum pengusaha pribumi, KGPAA Mangkunegara VII. Selepas 1936, ekspor serat nanas mulai sedikit membaik. Industri serat nanas kembali terpukul dengan kedatangan Jepang pada 1942 karena semua produksi ditujukan untuk kepentingan perang Jepang. Pada masa revolusi mempertahankan kemerdekaan, sebagian besar industri serat nanas bangkrut akibat ketiadaan pasar.

Selepas 1950-an, industri serat nanas mencoba untuk bangkit. Akan tetapi, penggunaan plastik membuat produksi serat nanas Indonesia tidak bisa sebaik pada masa kolonial. Kekinian Indonesia mesti mengimpor serat nanas dari negara lain untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Padahal sejarah membuktikan di masa lalu Indonesia mampu menjadi eksportir serat nanas.

Serat nanas lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan plastik yang susah diurai di alam. Penggunaan serat nanas relevan kembali digalakkan sebagaimana tren go green di era kiwari. Serat nanas dapat pula menjadi solusi ekonomis bagi lahan-lahan agraris yang kurang subur, berkapur, dan beriklim kering.

Sumber Gambar: Leiden University Libraries Digital Collections

 

Profil Penulis: Alumnus Ilmu Sejarah Universitas Sebelas Maret Surakarta. Kini menjadi peneliti lepas yang mengkaji Sejarah dan Kajian Budaya.