Gadis penjual korek api kelaparan dan kedinginan, bajunya tampak kekecilan sedangkan sepatunya terlalu besar. Di tengah keputusasaan, Elmaut datang menjemput, tetapi dia memberi kompensasi untuk segala hal tidak membahagiakan dalam hidup sang gadis. Pada tiap batang korek yang dinyalakan, si gadis kecil melihat ilusi tentang harapannya dalam hidup; tempat yang hangat, makanan yang cukup, pohon Natal dan sosok yang dirindukannya, sang nenek.
Hans Christian Andersen, sang penulis Gadis Penjual Korek Api, mungkin akan bahagia jika mengetahui Hari Buku Anak Internasional lahir dari rahim semangatnya menulis cerita anak-anak. Perayaan yang diadakan tiap 2 April tersebut diambil dari tanggal lahir Andersen, lalu dirayakan melalui penjualan buku dengan tambahan diskon, atau pemakaian kostum sesuai dengan tokoh dalam cerita Andersen.
Bagaimana dengan Indonesia?
Andersen dan penulis cerita anak lainnya masuk menjadi bagian dari masa kecil sebagian masyarakat Indonesia, sebutlah Enid Blyton, Antoine de Saint-Exupery, Charles Dickens, atau J.K Rowling. Para penulis di atas menawarkan imajinasi dan petualangan, sebagian tidak merasa perlu membagi tokohnya dalam batas yang jelas antara protagonis dan antagonis.
Indonesia memiliki Majalah Bobo, medium yang digandrungi banyak anak pada tahun 1990 hingga 2000-an, dengan tokoh Putri Nirmala, Bona, Rongrong dan masih banyak lagi. Akan tetapi, siapa yang benar-benar memperhatikan perlunya cerita bagi anak-anak? Tentu saja tidak banyak. Bahkan ketika geliat sastra semakin nampak pada masa Pujangga Baru, sastra anak tidak mendapat tempat untuk dibicarakan.
Tidak banyak bukan berarti tidak ada. Balai Pustaka penah menerbitkan majalah anak-anak bernama Kunang-Kunang pada 1949. Setelah itu menyusul, majalah Si Kuncung terbit pada 1956 oleh PT Inpress. Sayangnya majalah Kunang-Kunang hanya bertahan selama lima tahun, sedangkan majalah Si Kuncung sedikit lebih beruntung, ia bisa bertahan hingga tahun 1980-an.
“Pendidikan kanak-kanak adalah masalah jang pelik jang tidak dapat diselesaikan dengan tergesa-gesa namun jang harus sudah dimulai sedjak usia dini.” Kata Sugiarti Siswadi, anggota pimpinan pusat Lekra, seperti yang tercatat dalam buku Fairuzul Mumtaz Karya Lengkap Sugiarti Siswadi: Hayat Kreatif Sastrawan Lekra.
Lekra adalah contoh kecil organisasi yang memiliki perhatian khusus terhadap ketersediaan sastra anak. Sebagai bagian dari masa depan, kanak-kanak adalah masa yang tepat untuk menanamkan ide dan bentuk moralitas bagi kemaslahatan rakyat kelak. Literatur anak-anak pada hakikatnya adalah tugas edukatif, kata Sugiarti seperti termaktub dalam majalah Api Kartini No.3 tahun 1963.
Sugiarti sendiri menceritakan ulang dua cerpen milik Andersen, Ibu Bijaksana dan Batu Maharaja. Sedangkan cerpennya sendiri banyak bercerita tentang kehidupan rakyat bawah, para pekerja romusha, atau mengajarkan keadilan terhadap semua makhluk hidup, seperti cerita Anak Desa, Pengadilan Tani dan Dongeng-dongen di waktu malam. Sugiarti sendiri percaya bahwa cerita anak haruslah diisi dengan semangat sosialisme. Semangat tersebut harusnya dibarengi dengan ketidaksukaan terhadap anti Sosialisme.
Selain Sugiarti, ada sosok lain yang punya perhatian khusus terhadap bacaan anak, yaitu S. Rukiah Kertapati. Tidak banyak literatur yang membahas tentang Kertapati, hingga 12 Maret 2018 penerbit Ultimus mengadakan diskusi tentang sosok perempuan ini. Dilansir dari situs Jakarta Globe, pada 1951 Rukiah pernah bekerja sebagai editor di majalah anak-anak bernama “Tjendrawasih”. Dia pernah memenangkan penghargaan dari Badan Musyawarah Kebudayaan Indonesia pada 1953.
Pada 1961, penerbit Swada di Jakarta menerbitkan novel Kertapati berjudul Pak Supi: Kakek Pengungsi. Novel tersebut bercerita tentang Pak Supi yang pindah ke desa sebelah, setelah rumahnya dibakar oleh orang-orang yang anti-Sukarno. Tahun 2018, Penerbit Ultimus mencetak ulang buku tersebut, sayangnya Ultimus tidak mencetak banyak novel Rukiah yang satu ini.
Setelah Orde Baru menggantikan rezim yang lama, Rukiah dan Sugiarti sama-sama kehilangan suaranya dalam literatur anak, mereka berdua ikut digusur sebagai akibat dari konflik politik 1965. Pada era ini, Majalah Bobo (anak dari grup Gramedia) memberi angin segar dengan terbit pertama kali pada 1973, sebagai kepanjangan dari konten anak yang terbit seminggu sekali di koran Kompas.
Penerbit Djambatan juga berusaha menerbitkan cerita anak dalam seri Djambatan English Library pada 1990-an, sebagian besar yang diterbitkan adalah cerita rakyat dan fabel dalam bahasa Inggris. Cerita-cerita tersebut memang banyak beredar di masyarakat. Mungkin sebagian orang yang duduk di sekolah dasar pada awal 2000-an akan ingat bazar buku murah yang biasanya diadakan sebulan sekali.
Penjaga bazar biasanya membagikan brosur yang berisi judul buku beserta harga, sehari sebelum acara diadakan. Kebanyakan buku yang dijual adalah cerita rakyat nusantara, kisah-kisah Nabi, Atlas, kamus Bahasa Inggris, buku EYD (Ejaan Yang Disempurnakan), RPUL (Rangkuman Pengetahuan Umum Lengkap), atau kumpulan cara cepat matematika. Cerita rakyat yang dijajakan terdiri dari banyak versi, versi yang sampulnya mengkilat, versi harga murah atau versi dari penerbit A, B maupun C.
Pertanyaannya, seberapa besar literatur anak di Indonesia mengiringi perjalanan hidup seseorang? Adakah karya sastra anak Indonesia yang tidak lekang oleh zaman?
Mungkin saat ini belum. “Kenyataan secara luas tetap memperlihatkan, studi atau pendalaman terhadap peran, posisi, atau fungsi sastra anak dalam masyarakat masih sangat minim”, tulis Aji Wicaksono pada artikel di Kompas.com.
Menduduki peringkat 60 dari 61 negara dalam hal minat baca, jalan masih panjang bagi Indonesia untuk membiasakan generasinya menjadikan buku sebagai bagian dari gaya hidup. Membaca buku berkaitan dengan kemampuan penalaran anak, kata Sosiolog Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Badaruddin, MA dalam Tirto.id. Nalar adalah hakikat penting untuk menghadapi persaingan sesama manusia.
Tampaknya masih lama bagi pemerintah untuk mulai memperhatikan kebutuhan anak-anak atas cerita menggugah otak seperti petualangan dalam Wizard Of Oz, atau belajar tentang pentingnya masa lalu serta hukum sebab akibat seperti cerita A Christmas Carol. Lebih tepatnya, usaha untuk memenuhi masa kecil anak-anak Indonesia dengan bacaan yang bermutu.
Akan tetapi kita patut bergembira, pada Desember 2016, penerbit Post Santa menjembatani terbitnya buku Aku, Meps dan Beps karya Soca Sobhita dan Reda Gaudiamo. Buku mungil ini berisi cerita tentang keseharian Soca dan bapak-ibunya. Begitu polos seakan-akan kita mampu berharap masa kecil anak-anak yang lain juga se-menyenangkan itu.
“Ingin menyuarakan suara anak-anak, kegembiraan dan juga kekhawatiran dari kacamata anak-anak.” Begitu jawab Reda ketika ditanya alasan dibalik penulisan buku ini, oleh wartawan Tirto.id.
“I’m scared,” said Piglet.
“A story will help,” said Pooh.
“How?”
“Don’t you know? Stories make your heart grow.”
Saya menemukan kutipan percakapan tersebut di media sosial. Terlepas apakah percakapan antara Pooh dan Piglet bukan dari bagian dari buku A.A Milne, selayakanya kita setuju, begitulah cara cerita bekerja.