Mengenal Para Pionir Pers dari Sumatra

Dja Endar Moeda: Pelopor Perusahaan Pers Bumiputra di Sumatra

Tokoh

Dja Endar Moeda menunjukkan arti penting kepemilikan pers bagi kaum bumiputra agar bebas menyuarakan aspirasinya di ruang publik.

Pada artikel sebelumnya telah dibahas riwayat Abdul Rivai, seorang jurnalis bumiputra yang menyebarluaskan kesadaran nasional kaum bumiputra melalui pers. Abdul Rivai tentu bukan satu-satunya orang Sumatra yang berprofesi sebagai jurnalis pada masa itu. Pada kurun waktu yang nyaris bersamaan terdapat sejumlah jurnalis bumiputra dari pulau Sumatra yang memiliki peran menonjol dan salah satunya adalah Dja Endar Moeda.

Dja Endar Moeda dilahirkan dengan nama asli Haji Moehamad Saleh. Ia lahir di Padang Sidempuan, Sumatra Utara pada tahun 1861. Sebagaimana Rivai, ia juga mengenyam pendidikan barat pada akhir abad kedua puluh. Dja Endar Moeda menempuh pendidikan di Sekolah Pelatihan Guru di kota kelahirannya. Seusai tamat dari pendidikannya tersebut, ia menjadi guru pada sekolah pemerintah di Air Bangis. Dja Endar Moeda terbilang memiliki karir yang baik sebagai seorang guru pemerintah.

Beberapa waktu setelahnya, ia dipromosikan menjadi kepala sekolah di Batahan, Mandailing Natal. Pada saat menjadi kepala sekolah inilah ia mulai bersinggungan dengan dunia pers dengan menjadi koresponden pada surat kabar Soeloeh Pengadjar. Setelah mundur dari pekerjaannya sebagai guru pemerintah, ia kemudian pergi berhaji di tahun 1892. Sepulangnya dari tanah suci, ia tidak kembali ke Sumatra Utara dan justru bermukim di Padang sejak tahun 1893. Dari Padang inilah karirnya sebagai salah satu tokoh pers terpenting di Sumatra bahkan Hindia Belanda dimulai.

Medio 1894 Dja Endar Moeda ditawari pekerjaan sebagai editor pada surat kabar Pertja Barat oleh Lien Bian Goan. Menurut Taufik Rahzen, dkk dalam buku Tanah Air Bahasa, ia tergolong sebagai jurnalis bumiputra generasi awal yang menggeluti dunia jurnalistik. Selain itu, menurut Ahmat Adam dalam buku Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan, Dja Endar Moeda tergolong jurnalis bumiputra yang berani. Ia tak segan mengkritik para pangreh praja yang tidak menjalankan tugasnya dengan baik. Keberaniannya ini membuatnya disegani oleh jurnalis lain tak terkecuali jurnalis Eropa.

Dja Endar Moeda tidak hanya aktif di Pertja Barat. Pada tahun 1900, ia mendirikan surat kabar khusus untuk orang Batak bernama Tapian Na Oeli. Sayangnya, pangsa pasar Tapian Na Oeli yang hanya menyasar orang Batak di wilayah Tapanuli Selatan membuatnya kesulitan mendapatkan pelanggan dan hanya bertahan hingga 1903. Dengan demikian, Tapian Na Oeli hanya bertahan terbit dua tahun namanya.

Saat masih memimpin Tapian Na Oeli dan mengelola Pertja Barat, Dja Endar Moeda juga turut mendirikan surat kabar Insulinde yang diterbitkan oleh penerbit dengan nama serupa. Insulinde sendiri terbit di Padang pada tahun 1901. Surat kabar ini fokus kepada isu seputar pendidikan bagi kaum bumiputra dan memiliki koresponden di berbagai wilayah. Sayangnya, Insulinde tak bertahan cukup lama dan hanya terbit hingga tahun 1905. Alasannya berhentinya Insulinde tidak lain karena Dja Endar Moeda lebih fokus mengelola Pertja Barat.

Dja Endar Moeda tidak hanya aktif sebagai jurnalis, tetapi juga menjadi orang Sumatra pertama yang memiliki perusahaan penerbitan pers sendiri. Pada tahun 1905, dibelinya percetakan Insulinde. Ia juga memperluas jaringan usaha milik Pertja Barat dengan mendirikan Toko Pertja Barat. Dengan memiliki percetakan sendiri, maka ia dapat mendirikan surat kabarnya sendiri tanpa harus bergantung pada orang lain. Sejak tahun 1905 itulah Dja Endar Moeda mulai kerap mendirikan surat kabar di berbagai kota besar di Sumatra.

Pada tahun 1906, Dja Endar Moeda menerbitkan Pembrita Atjeh di Kutaraja (Banda Aceh) dan sekaligus menjadi surat kabar pertama yang terbit disana. Sayangnya, Pembrita Atjeh kalah bersaing dengan Sinar Atjeh yang didirikan oleh Lim Soen Hwat. Gagal di Aceh, ia kembali ke Padang dan mendirikan surat kabar Minangkabau pada tahun 1908. Berbeda dengan nasib Pembrita Atjeh, Minangkabau mendapat respon yang cukup positif dari para pelanggannya.

Dja Endar Moeda rupanya belum puas dengan hal itu. Pada tahun 1910, ia mendirikan penerbit Sjarikat Tapanuli di Medan. Sjarikat Tapanuli kemudian menerbitkan sebuah surat kabar dengan nama Pewarta Deli. Pewarta Deli dapat dikatakan cukup sukses. Keberhasilan Pewarta Deli disebabkan oleh orientasi komersial surat kabar itu yang sesuai dengan kondisi Medan sebagai salah satu pusat ekonomi utama di Sumatra. Dengan demikan, para saudagar yang ingin berdagang atau berbisnis di Medan menjadi Pewarta Deli sebagai rujukan utama dalam mendapatkan informasi perniagaan.

Faktor yang mendorong kesuksesan Pewarta Deli adalah meredupnya Sinar Atjeh yang membuat orang-orang Aceh tidak memiliki pilihan lain selain berlangganan surat kabar itu. Pewarta Deli dengan demikian tidak hanya memiliki pelanggan di Medan saja melainkan hingga ke Aceh. Keberhasilan Pewarta Deli hingga ke Aceh sama sekali tidak membuatnya berhenti untuk menggarap pangsa pasar di Aceh. Pada 1911 Dja Endar Moeda menerbitkan Bintang Atjeh yang hanya bertahan selama kurang lebih dua tahun saja.

Berbeda dengan Rivai yang menjadikan pers sebagai sarana menyebarluaskan kesadaran nasional, Dja Endar Moeda agaknya lebih melihat pers sebagai industri yang dapat mendatangkan keuntungan finansial. Hal ini dapat terlihat dalam aktivitas jurnalistiknya sejak tahun 1905 dan 1911 yang lebih fokus mendirikan surat kabar baru dan menyasar pada pangsa pasar yang belum dikerjakan oleh perusahaan pers lain. Meskipun demikian, Dja Endar Moeda tetap memiliki perhatian terhadap kemajuan kaum bumiputra. Menurut Ahmat Adam, ia aktif mendorong kaum bumiputra berorganisasi sebagaimana orang Jepang dan orang Tionghoa. Ketika Boedi Oetomo berdiri pada tahun 1908, ia dengan terbuka menyarankan kaum bumiputra di luar Jawa agar membentuk organisasi serupa atau setidaknya mendirikan cabang Boedi Oetomo di wilayah setempat.

Dja Endar Moeda juga turut mendorong anggota keluarganya untuk menggeluti dunia pers. Berdasarkan catatan Ahmat Adam, adik Dja Endar Moeda yang bernama Dja Endar Bongsoe juga berprofesi sebagai jurnalis dengan menjadi editor di Pertja Barat. Ia bahkan menggagas pendirian sebuah serikat jurnalis bumiputra untuk membantu jurnalis bumiputra menghindari jerat delik pers. Selain Dja Endar Bongsoe, putra Dja Endar Moeda bernama Kamarudin juga menjadi asisten editor di Pewarta Deli.

Permulaan dekade kedua abad dua puluh menjadi titik balik kemunduran bisnis penerbitan dan surat kabar milik Dja Endar Moeda. Pada tahun 1911, ia terkena tuduhan delik pers dan mendapat hukuman penjara dua bulan. Pada tahun yang sama, Dja Endar Bongsoe mendadak meninggal dunia. Meninggalnya Dja Endar Bongsoe bukan hanya sekedar kehilangan adik bagi Dja Endar Moeda. Dja Endar Bongsoe merupakan orang sangat ia percaya untuk mengelola Pertja Barat dan bisnis lainnya di Sumatra Barat. Sejak meninggalnya Dja Endar Bongsoe tersebut, Pertja Barat mulai kehilangan pamornya dan berhenti terbit di tahun 1913. Sejak saat itu pula nama Dja Endar Moeda dan surat kabar yang ia pimpin perlahan mulai surut.

Meskipun pamornya telah surut, nama Dja Endar Moeda tetap layak dianggap sebagai salah satu tokoh pers terpenting di Sumatra dan bahkan Hindia Belanda. Usahanya untuk mendorong penerbitan pers bumiputra serta perhatiannya pada persoalan kemajuan kaum bumiputra merupakan peran penting yang tidak dapat dilupakan begitu saja. Dja Endar Moeda juga telah menunjukkan betapa pentingnya seorang bumiputra memiliki surat kabarnya sendiri agar bebas menyuarakan aspirasi serta pendapatnya di ruang publik.


Senandika menerbitkan seri “Mengenal Para Pionir Pers dari Sumatra” yang berisi riwayat singkat sejumlah jurnalis asal Pulau Sumatra yang berperan besar dalam perkembangan pers di Hindia Belanda pada awal abad XX