Mereka Tahu Pembunuh Marsinah

Tokoh

Tahun 1993 belasan buruh pabrik PT Catur Putra Surya (CPS) Rungkut, Surabaya, menggelar aksi unjuk rasa dengan mengajukan 12 tuntutan. Beberapa tuntutan itu diantaranya:

  • meminta kenaikan upah dari 1.700 menjadi 2.250
  • meminta kenaikan uang makan dan transport
  • penyesuaian upah lembur
  • asuransi kesehatan
  • cuti haid
  • dan pembayaran cuti hamil tepat pada waktunya.

Tuntutan para buruh itu sempat disetujui melalui konsolidasi dengan pimpinan pabrik bernama Yudi Astono. Pabrik arloji yang merekrut banyak buruh di dalamnya itu merasa cukup tenang, namun akhirnya tidak berarti apa-apa setelah salah satu buruh bernama Marsinah dihilangkan nyawanya.

Marsinah adalah orang yang paling lantang tidak mau mengurangi tuntutanya, terlebih tentang kenaikan upah yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Sampai saat ini nama Marsinah sering berdengung pada peringatan hari buruh 1 Mei. Hal ini terjadi lantaran kasus pembunuhan Marsinah masih menjadi misteri. Pertanyaan kebosanan melanda para aktivis HAM di negeri ini, “siapakah pembunuh Marsinah?” Marsinah yang dikenal blak-blakan, kritis, dan penuh semangat dalam memperjuangkan nasib buruh tewas dengan kondisi yang mengenaskan.

Sekitar pukul 10 malam tanggal 6 Mei 1993, Marsinah “hilang” sampai kemudian ditemukan dalam keadaan tewas pada Minggu 9 Mei 1993, sekitar pukul 13.30. Dalam buku yang ditulis oleh Abhe Antara, berjudul Teori Konspirasi, Peristiwa, Kasus, Isu Politik Indonesia dan Dunia dikatakan mayat Marsinah ditemukan disebuah gubuk tani tanpa dinding, di Dusun Jegog, Nganjuk 200 kilometer dari Sidoarjo. Seorang bernama Widji bin Aim warga dusun jegog memeriksa wanita yang semula dikira orang gila itu sudah tidak bergerak dan tidak bernafas. Bisa dibayangkan saat penemuan semut dan lalat merubung disekitar matanya.

Setelah para buruh berunjuk rasa, surat pemanggilan yang ditandatangani Kapten Kusaeri selaku Komandan Kodim, dilayangkan kepada mereka. Juru bicara untuk para buruh adalah Yudo Prakoso yang dianggap sebagai dalang aksi pemogokan kerja. Yudo menemui Kusaeri, disitu ia dipaksa mengakui lahirnya tuntutan para buruh terjadi atas inisiatif dirinya. Setelah dipaksa membuat pernyataan penjelasan peristiwa barulah para buruh  diperbolehkan pulang. Namun sore harinya Yudo dan rekan-rekan buruh kembali mendapatkan surat pemanggilan.

Kali ini surat pemanggilan ditandatangani pejabat Carik Kelurahan namun menggunakan kop Kodim. Sampai di Makodim Yudo dan rekan-rekan kembali mendapatkan intimidasi oleh seorang bernama Karnadi petugas intrograsi yang mengatakan bahwa sebenarnya mereka sudah tidak dibutuhkan lagi bekerja di PT. CPS. Mereka dipaksa mengundurkan diri sebelum di PHK agar dapat pesangon dan direkomendasikan untuk bekerja di pabrik lain.

Sementara Mutmainah dan Marsinah masih melakukan konsolidasi dengan pihak pabrik di PT CPS. Akhirnya terjadi kesepakatan, antara Marsinah dan pihak pabrik. Marsinah pulang dan membuat surat pernyataan agar perusahaan tidak mencari-cari kesalahan terhadap tuntutan. Setelah konsolidasi itu selesai Kapten Kusaeri mendatangi pabrik menemui Pimpinan PT CPS Yudi Astono. Ia memintanya agar memberi pesangon kepada para buruh di Makodim yang akan mengundurkan diri.

Sampai di Makodim Yudi Astono berbisik kepada para buruh, “Ini bukan kemauan saya. Saya sendiri terkejut mendengar kalian mengundurkan diri. Ini kehendak Kodim. Saya juga takut”. Yudo, Yudi Astono, dan para buruh kemudian pulang.

Sementara Marsinah baru saja selesai membuat surat pernyataan. Surat itu ia titipkan kepada satpam pabrik kemudian menyusul rekan-rekannya ke Makodim. Sesampainya disana mereka sudah pulang. Dalam perjalanan kembali ke rumah ia bertemu rekan-rekannya. Mereka menjelaskan apa yang terjadi di Kodim. Marsinah merasa tidak terima, ia meminta surat kesepakatan bersama hasil perundingan, bahwa perusahaan sudah sepakat tidak mencari-cari kesalahan buruh, tetapi mereka telah melanggarnya dan melakukan PHK di Makodim.

Marsinah mendatangi Kodim. Ia mempertanyakan kenapa para buruh itu di PHK di Makodim bukan di kantor PT. CPS. Marsinah hendak mengusut penyelewengan yang dilakukan oleh aparat, yang dirasa telah membuat persekongkolan Sistem Intelijen Sidoarjo (SIS) yang mengontrol antara majikan dan para buruh.

Sampai di Makodim. Disinilah detik-detik kematian Marsinah terjadi. Mereka melakukan penyiksaan terhadapnya. Merasa sikapnya benar Marsinah tidak keder melainkan semakin menyalak dan membuat para aparat yang sedang berjaga malam itu menghajarnya hingga sekarat.

Dari sini kronologis kematian Marsinah seharusnya sudah dapat diungkapkan. Setelah berita kematian Marsinah tersebar luas dari stasiun televisi SCTV, pengungkapan dan penyidikan oleh kepolisian telah kembali dilaksanakan. Sesungguhnya mereka tahu, Oknum yang bertugas di Kodim lah yang melakukan penyiksaan bahkan diindikasikan melakukan pembunuhan terhadap Marsinah. Namun negara masih diam. Tuntutan Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) kepada pemerintah RI untuk menuntaskan kasus ini pun tidak kunjung terealisasi. Fakta peradilan atas jasad Marsinah yang kembali diotopsi, hasilnya ditemukan bahwa tulang panggul dan lehernya yang hancur tidak pernah diungkap di pengadilan.