Keberadaan model rambut sering dikaitkan dengan estetika oleh masyarakat Indonesia. Tampan-jelek dan kuno-kini sering diukur hanya dari model rambut yang digunakan seseorang. Misalkan saja seseorang dikatakan tampan jika berambut rapi, sedangkan mereka yang berambut tidak rapi akan dikatakan sebagai orang yang tidak tahu aturan atau bahkan seorang yang bertabiat buruk.
Jika dilihat dari sejarahnya, sebenarnya keberadaan rambut bukan hanya sebagai pelengkap style semata. Jadi, model rambut bukan hanya tentang tampan-jelek, kini-kuno, dan baik-buruk. Akan tetapi, model rambut merupakan salah satu cara manusia untuk menunjukan eksistensinya. Ada yang menggunakannya sebagai cara utuk identifikasi diri. Ada pula yang muncul beberapa sebagai bentuk perlawanan terhadap sebuah golongan atau keadaan tertentu. Misalnya saja penggunaan rambut Mohawk oleh kaum Punk sebagai simbol anti kemapanan, atau rambut gondrong para hippies yang merupakan bentuk protes terhadap keadaan sosial Amerika Serikat tahun 1960-an.
Indonesia sebenarnya juga sudah cukup lama merasakan dinamika politik melalui model rambut. Salah satu yang paling awal adalah pada masa Perang Jawa (1825-1830). Peter Carey, seorang sejarawan yang mendedikasikan 40 tahun hidupnya huntuk meneliti Perang Jawa (1825-1830) menyebutkan dalam bukunya yang berjudul “Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa 1785-1855” bahwa Pangeran Diponegoro memerintahkan pasukannya untuk memotong rambut mereka menjadi pendek pada saat melakukan peperangan. Perintah ini ternyata bukan hanya sebagai wujud ketaatan Diponegoro dan pasukannya terhadap Agama Islam. Namun, kuat dugaan perintah pemotongan rambut oleh Pangeran Diponegoro merupakan cara untuk membuat garis pemisah yang jelas antara pasukannya yang taat beragama dengan kaum bangsawan Kraton Murtad pembela Belanda kafir yang mayoritas berambut panjang.
Berbanding terbalik dengan apa yang dilakukan oleh Diponegoro dan pasukannya, sekitar seratus tahun kemudian, tepatnya pada masa revolusi fisik tahun1945-1949, mayoritas laskar-laskar justru membiarkan rambut mereka panjang. Kebiasaan ini paling banyak dilakukan oleh laskar-laskar di Jakarta yang notabene kebanyakan dari mereka adalah para “jago” dan orang yang begelut dengan dunia hitam. Biasanya mereka menggunakan peci atau topi, berambut panjang, dan bersenjatakan bamboo runcing hingga senapan. Hal ini mereka melakukan bukan semata-mata karena mereka orang jalanan yang “tidak punya aturan” dan tidak peduli terhadap style atau mode. Rambut panjang bagi laskar merupakan identitas dan alat pembeda karena pada saat itu tentara Belanda identik dengan rambut klimis dan cepak.
Kampanye politik paling mencolok dalam sejarah Indonesia yang berkaitan dengan model rambut terjadi pada masa Orde Baru, tepatnya pada dekade 70-an. Pada masa ini rambut menjadi salah satu alat bagi rezim Orde Baru untuk mengidentifikasi musuh-musuhnya. Berawal dari terjadinya gelombang protes mahasiswa terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah. Muncul labelisasi terhadap para mahasiswa yang waktu itu mayoritas berambut gondrong sebagai orang yang tidak tahu aturan dan tidak sesuai dengan kepribadian bangsa sehingga harus ditertibkan. Maka sebagai bentuk peringatan dan penertiban dicanangkan Gerakan Anti Rambut Gondrong. Gerakan ini direalisasikan dengan cara menugaskan ABRI untuk melakukan razia rambut. Para anggota ABRI kemudian turun kejalan-jalan dengan membawa gunting. Setiap orang yang ditemui dalam keadaan gondrong maka langsung dipotong pendek atau bahkan digunduli.
Gerakan Anti Gondrong akhirnya juga merambah ke hampir semua elemen masyarakat. Ini terlihat dengan munculnya aturan larangan rambut gondrong di kampus-kampus dan instansi-instansi pemerintah. Semua anggota keluarga aparatur negara diwajibkan untuk berambut pendek. Bahkan Gubernur Sumatra Utara saat itu, Marah Halim, membentuk Badan Kordinator Pemberantasan Rambut Gondrong (Bakorpragon) untuk memberantas rambut gondrong.
Sumber Bacaan:
Peter Carey. 2016. Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa 1785-1855. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia dan KITLV.
Robert Cribb. 2010. Para Jago dan Kaum Revolusioner Jakarta 1945-1949. Jakarta: Masup Jakarta
http://historia.id/film/kutu-subversif-dalam-rambut-gondrong diakses pada tanggal 27 Januari 2017 pukul 23.54
http://www.berdikarionline.com/rambut-gondrong-dan-dinamika-perlawanannya/ diakses pada tanggal 28 Januari 2017 pukul 13.54