Di balik gemerlap kemerdekaan Indonesia yang kita nikmati hari ini, ada perjalanan panjang dan penuh liku yang dilalui oleh para pendahulu kita. Di tengah segala hiruk-pikuk perjuangan ini, dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU), memainkan peran yang sangat penting. Keduanya bukan hanya sekadar organisasi keagamaan, tapi juga motor penggerak perubahan sosial dan politik yang signifikan pada masa pergerakan nasional. Dalam perjalanan sejarahnya, Muhammadiyah dan NU sering kali berada dalam posisi yang berbeda. Muhammadiyah fokus pada pembaharuan pendidikan dan sosial, mendirikan sekolah-sekolah modern, serta rumah sakit. Sementara itu, NU lebih banyak bergerak dalam bidang keagamaan tradisional dan pesantren. Perbedaan pendekatan ini kadang menimbulkan gesekan, namun tidak jarang juga keduanya bersinergi untuk tujuan yang lebih besar.
Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama keduanya didirikan dengan tujuan yang mulia, namun memiliki visi dan pendekatan yang berbeda. Muhammadiyah didirikan oleh KH Ahmad Dahlan pada tahun 1912 di Yogyakarta. Organisasi ini lahir dari keprihatinan Ahmad Dahlan terhadap kondisi pendidikan dan sosial masyarakat Indonesia (saat itu masih Hindia Belanda) yang masih tertinggal. Muhammadiyah berfokus pada modernisasi dan pembaharuan dalam praktik keagamaan serta pendidikan. Mereka mendirikan sekolah-sekolah, rumah sakit, dan berbagai lembaga sosial lainnya untuk meningkatkan taraf hidup dan pendidikan masyarakat. Muhammadiyah dikenal dengan pendekatannya yang rasional dan modern, mengajak umat Islam untuk kembali kepada ajaran Islam yang murni sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadis, serta meninggalkan praktik-praktik yang dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam (Iskandar & Firdaus, 2020).
Nahdlatul Ulama (NU), di sisi lain, didirikan salah satunya oleh KH Hasyim Asy’ari pada tahun 1926 di Jombang, Jawa Timur. NU muncul sebagai respons terhadap kekhawatiran ulama tradisional tentang hilangnya nilai-nilai dan tradisi Islam Nusantara. NU berkomitmen untuk mempertahankan dan melestarikan ajaran Islam yang berakar kuat pada budaya lokal dan tradisi keagamaan pesantren. Mereka menekankan pentingnya menjaga praktik-praktik keagamaan yang diwariskan oleh para ulama terdahulu. NU sangat aktif dalam bidang keagamaan dengan mengelola ribuan pesantren di seluruh Indonesia yang menjadi pusat pendidikan Islam tradisional (Fuad, 2020).
Meskipun Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) memiliki pendekatan yang berbeda, keduanya kerap kali bekerja sama dalam perjuangan mencapai kemerdekaan Indonesia. Kolaborasi ini menjadi bukti bahwa meskipun ada perbedaan pandangan, tujuan bersama dapat menyatukan dua kekuatan besar ini. Salah satu contoh kerja sama yang menonjol adalah dalam Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI). Berdiri pada tahun 1937, MIAI adalah organisasi yang mewadahi berbagai kelompok Islam di Indonesia, termasuk Muhammadiyah dan NU. MIAI bertujuan untuk mempersatukan umat Islam dalam perjuangan melawan penjajahan. Dalam MIAI, kedua organisasi ini bekerja sama untuk mengkoordinasikan aksi-aksi politik dan sosial demi mencapai kemerdekaan.
Kolaborasi ini berlanjut dengan pembentukan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) pada tahun 1943. Masyumi didirikan sebagai wadah bagi umat Islam untuk berjuang bersama melawan penjajahan Jepang dan mendukung kemerdekaan Indonesia. Muhammadiyah dan NU, meskipun memiliki basis massa dan metode yang berbeda, bekerja sama dalam Masyumi untuk memperkuat suara umat Islam dalam pergerakan nasional. Keterlibatan dalam Masyumi menunjukkan bahwa kedua organisasi ini mampu menempatkan kepentingan nasional di atas perbedaan ideologis mereka (Yufi Fisalma, Yudith Nida Nura Lele, 2024).
Kolaborasi ini juga terlihat dalam perjuangan melawan penjajahan Belanda dan Jepang. Baik Muhammadiyah maupun NU mengorganisir berbagai aksi protes, mendirikan lembaga pendidikan dan sosial yang mendukung kemerdekaan, serta memobilisasi umat Islam untuk berpartisipasi dalam pergerakan nasional. Tokoh-tokoh dari kedua organisasi sering kali bekerja sama dalam mengatur demonstrasi, rapat umum, dan kampanye politik yang bertujuan untuk menggalang dukungan rakyat terhadap kemerdekaan.
Dalam perjalanan sejarahnya, tak terhindar bagi Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) untuk mengalami gesekan dan tantangan internal. Perbedaan pandangan atau pendekatan sering kali muncul di antara kedua organisasi ini, yang bisa menjadi sumber konflik. Contohnya, ada perbedaan dalam cara mereka memandang pembaharuan dalam Islam. Muhammadiyah cenderung lebih terbuka terhadap ide-ide modern, sementara NU lebih mempertahankan tradisi keagamaan. Namun, meskipun ada gesekan, kedua organisasi ini juga telah menunjukkan kemampuan untuk mengatasi perbedaan tersebut. Mereka memahami bahwa persatuan dalam mencapai tujuan bersama lebih penting daripada perselisihan internal.
Seiring waktu, Muhammadiyah dan NU belajar untuk berkomunikasi secara efektif, mendengarkan satu sama lain, dan mencari solusi yang memenuhi kepentingan bersama. Peran tokoh-tokoh kunci dalam mediasi dan penyelesaian konflik juga sangat penting dalam mengatasi gesekan internal. Tokoh-tokoh seperti para ulama senior, pemimpin organisasi, atau tokoh masyarakat yang dihormati memiliki peran yang besar dalam meredakan ketegangan dan menyatukan kembali kedua belah pihak. Mereka berperan sebagai mediator yang adil dan bijaksana, membantu kedua organisasi untuk mencapai kesepakatan yang memuaskan (Nasikhin et al., 2022).
Pada saat proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, baik Muhammadiyah maupun NU memberikan dukungan penuh. Mereka menggerakkan anggotanya untuk mendukung pembentukan negara Indonesia yang merdeka dan berdaulat. Para ulama dan pemimpin dari Muhammadiyah dan NU juga berperan dalam menyusun konstitusi dan membentuk pemerintahan baru.
Hubungan antara Muhammadiyah dan NU menawarkan banyak pelajaran berharga bagi kita semua. Meski sering kali berseberangan dalam metode dan pendekatan, kedua organisasi ini telah menunjukkan bahwa kolaborasi di tengah perbedaan adalah kunci untuk mencapai tujuan bersama. Hubungan dinamis antara Muhammadiyah dan NU mengajarkan kita pentingnya fleksibilitas dan keterbukaan. Keduanya mampu beradaptasi dan bekerja sama ketika dibutuhkan. Ini menunjukkan bahwa meskipun ada perbedaan, mencari titik temu dan bekerjasama demi kebaikan bersama adalah hal yang sangat mungkin dan sangat penting.
Kolaborasi dan rivalitas ini relevan dalam konteks persatuan dan keberagaman di Indonesia masa kini. Indonesia adalah negara dengan beragam suku, agama, dan budaya. Dalam situasi seperti ini, perbedaan sering kali tak terhindarkan. Namun, seperti yang ditunjukkan oleh Muhammadiyah dan NU, perbedaan tidak harus menjadi penghalang. Sebaliknya, perbedaan bisa menjadi sumber kekuatan jika kita mampu bekerja sama dan saling menghormati.
Terakhir, pelajaran besar yang bisa kita ambil adalah bahwa kolaborasi dan persatuan lebih kuat daripada perpecahan. Meski memiliki cara yang berbeda dalam memperjuangkan kemerdekaan, Muhammadiyah dan NU tetap bersatu demi kepentingan bangsa. Ini adalah refleksi yang penting bagi kita semua, terutama dalam menghadapi tantangan besar di era modern ini. Kerjasama dan persatuan dalam keberagaman adalah kunci untuk membangun masa depan yang lebih baik.
Referensi:
Fuad, A. J. (2020). Akar Sejarah Moderasi Islam Pada Nahdlatul Ulama. Tribakti: Jurnal Pemikiran Keislaman, 31(1), 153–168. https://doi.org/10.33367/tribakti.v31i1.991.
Iskandar, I., & Firdaus, D. W. (2020). Pemikiran Deliar Noer Mengenai Gerakan Islam Modern Indonesia 1900-1942. Jazirah: Jurnal Peradaban Dan Kebudayaan, 1(1), 16–38. https://doi.org/10.51190/jazirah.v1i1.2.
Nasikhin, N., Raaharjo, R., & Nasikhin, N. (2022). Moderasi Beragama Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah dalam Konsep Islam Nusantara dan Islam Berkemajuan. Islamic Review: Jurnal Riset Dan Kajian Keislaman, 11(1), 19–34. https://doi.org/10.35878/islamicreview.v11i1.371.
Yufi Fisalma, Yudith Nida Nura Lele, S. W. (2024). Jejak Pembelajaran : Jurnal Pengembangan Pendidikan. Pengembangan Pendidikan, 8(1), 120–130. https://jurnalhost.com/index.php/jpp/article/view/570/722.