Nahdlatul Ulama dan Konsensus Paham Ahlussunnah wal Jamaah

Sosial Budaya

Hingga akhir abad kesembilan belas dan awal abad dua puluh, banyak ulama Indonesia yang berangkat haji dan memperdalam ilmu keagamaan mereka. Oleh karena itu, karekteristik keilmuan dan pemahaman keagamaan ulama di Indonesia banyak dipengaruhi oleh guru-guru mereka ketika mukim di Mekah, termasuk bentuk penolakan pada suatu paham tertentu.

Dalam keterangan lebih lanjut, Hadratussyeikh Hasyim Asy’ari menjelaskan kemunculan kelompok-kelompok Islam yang pendapatnya bertentangan di tahun 1330 H. Menurut Michael Laffan dalam buku Sejarah Islam di Nusantara diantara kelompok tersebut adalah ulama-ulama salaf yang berpegang pada salah satu madzhab, kitab-kitab mu’tabar, tabarruk (pengambilan berkah), ziarah kubur, talqin mayit, sedekah―yang pahalanya diperuntunkkan―kepada mayit, meyakini syafaat (pertolongan), kebermanfaat doa dan tawassul, dan pengagungan keluarga rasul, wali-wali, dan orang-orang shalih. Kelompok inilah yang dimaksud oleh Hadratussyeikh dengan ahlu al-Jawi (penduduk Nusantara) yang mengikuti madzhab ahlussunnah wa al-jama’ah.

Hadratussyeikh dalam kitab Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah menasehati untuk tidak mengikuti gerakan Muhammad Abduh dan Rasyid Ridla atau pemahaman dari Syeikh al-Islam Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab al-Najdi dan Syeikh al-Islam Ibn Taimiyah serta muridnya Ibn al-Qoyyim dan Ibn ‘Abd al-Hadi. Alasannya adalah banyak ulama salaf (dulu) maupun khalaf (sekarang) yang membantah pemahaman mereka.

Kelompok lain yang disebutkan Hadratussyeikh adalah kelompok yang berpaham tentang adanya hulul dan ittihad (penyatuan wujud Allah pada makhluk). Kelompok ini oleh Hadratussyeikh disebut kelompok sufi yang bodoh.

Hadratussyeikh menukil pendapat dari al-‘Allamah al-Amir dalam kitab Hasyiyah ‘Abd al-Salam yang mengatakan bahwa kelompok ini adalah kelompok yang sudah jelas kekufurannya dan pendapat al-Qadli ‘Iyadl dalam kitab al-Syifa yang mengatakan bahwa setiap pendapat yang menafikan ketuhanan Allah dalam sifat wahdaniyyah atau peribadatan yang diperuntukkan selain Allah, maka pendapat ini adalah kufur.

Dengan adanya karya Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah ini menandakan babak baru dalam wacana literasi keagamaan yang sempat ramai dengan wacana tasawuf. Pada awal abad 12 M, Arnold mengatakan bahwa tasawuf wahdatul wujud sudah sampai di Nusantara bersamaan dengan datangnya ‘Abdullah Arif (w. 1214 M), ia memiliki sebuah kitab tasawuf paling awal yang muncul di Nusantara, yaitu Bahr Luhut (lautan ketuhanan). Kitab tersebut menurut Miftah Arifin dalam buku Sufi Nusantara: Biografi, Karya Intelektual dan Pemikiran Tasawuf banyak dipengaruhi oleh pemikiran wujudiyah Ibn ‘Arabi dan ajaran persamaan mistikal (fana’) al-Hallaj.

Informasi lain yang disampaikan Hadratussyeikh adalah pentingnya berpegang pada salah satu dari empat madzhab. Beliau menjelaskan bahwa ulama-ulama salaf merupakan orang-orang yang mengikuti garis salafussalih. Ulama-ulama salaf inilah yang disebut dengan kelompok sawad al-a’dzam. Ulama-ulama salaf ini merupakan ulama yang pemahamannya mengikuti dan sesuai dengan ulama-ulama Haramain dan ulama al-Azhar. Dari prinsip bermadzhab inilah ulama-ulama pesantren sering disebut dengan kelompok tradisional (konservatif) karena pemahamannya yang tidak dapat lepas dari pendapat-pendapat ulama-ulama terdahulu.

Puncak dari integrasi pemahaman keagamaan kalangan pesantren adalah terbentuknya organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Pendirian NU yang diprakarsai oleh K. H. Wahab Chasbullah serta diangkatnya Hadratussyeikh sebagai Rais Aam menandai babak baru gerakan kalangan pesantren dalam wacana keagamaan melalui sebuah konsensus.

Hadratussyiekh dalam Muqaddimah Qonun memberi alasan diperlukannya sebuah organisasi (ijtima’) yang mempunyai manfaat sebagai lembaga dakwah, mendukung pemerintahan negara, sebagai wadah kesatuan umat, dan mewujudkan kesejahteraan. Dalam kitab ini juga, dikukuhkan lagi tentang pengambilan salah satu dari empat madzhab, dan kesulitan bagi orang yang keluar atau meninggalkan model bermadzhab.

Berawal dari kajian karya Hadratussyeikh ini, kita dapat melihat bahwa di awal abad 20 pemikiran ahlussunnah wal jama’ah telah menjadi landasan berpikir ulama-ulama pesantren. Adapun pendirian NU merupakan upaya untuk menciptakan konsensus di kalangan para ulama pengikut ahlussunnah wal jama’ah.

 

Sumber gambar: link