Pada zaman pergerakan, beberapa tokoh memiliki kegiatan lain selain membangun pergerakan massa. Mas Marco Kartodikromo misalnya, menulis Student Hidjo yang mulai ditulis tahun 1918 dan dimuat dalam surat kabar Sinar Hindia. Tokoh pergerakan lain seperti Semaoen juga menuliskan novel Hikayat Kadiroen. Tulisan tersebut dibuat tahun 1919 ketika ia di penjara karena kasus presdelict (tulisan yang dianggap menentang pemerintah), keterangan ini dimuat pada kata pengantar novel. Sebagaimana Student Hidjo, Hikayat Kadiroen juga dimuat dalam surat kabar Sinar Hindia.
Dua karya tersebut walaupun ditulis oleh dua tokoh dari organisasi yang sama, yakni Sarekat Islam (SI) cabang Semarang tetapi memiliki konteks yang berbeda. Cerita dalam novel Hikayat Kadiroen lebih terasa bermuatan politis dan propagandis. Di sisi lain, cerita dalam novel Student Hidjo lebih bermuatan budaya karena bercerita tentang kehidupan priyayi pada masa pergerakan.
Tokoh utama dalam Hikayat Kadiroen adalah Kadiroen, seorang pejabat lokal pemerintah kolonial Hindia Belanda. Mulanya ia adalah seorang pegawai yang biasa saja. Pemikirannya berubah ketika mendengar pidato Tjitro, juru bicara Partai Komunis (PK). Tjitro dalam novel tersebut digambarkan sebagai seorang tokoh pergerakan yang banyak berbicara tentang kapitalisme, perlunya berorganisasi, komunisme, serta pergerakan buruh dan tani.
Novel Hikayat Kadiroen secara tak langsung menggambarkan pemikiran Semaoen di masa pergerakan. Sebagai contoh, komunisme dalam novel tersebut dikatakan oleh tokoh Tjitro sebagai“ilmu yang mengatur pergaulan hidup supaya dalam pergaulan hidup itu orang-orang jangan ada yang bisa memeras satu sama lainnya”. Menurut Ricklefs dalam buku Sejarah Indonesia Modern, hal tersebut menggambarkan bahwa PK di dalam novel dengan PKI memiliki persamaan, yaitu lebih banyak memberikan pernyataan dengan bahasa yang menarik bagi rakyat.
Novel yang ditulis Semaoen tersebut juga menggambarkan bagaimana komunisme dengan agama bisa disambungkan menjadi koheren. Seperti perdebatan antara Kyai Noerdin dan Tjitro. Kyai Noerdin menyatakan bahwa PK hanya mementingkan kondisi ekonomi duniawi yang menurutnya akan melunturkan sikap religi.
Tjitro membantahnya, dalam novel tersebut dikatakan ” ….supaya perbaikan batin tidak tergoda oleh kesusahan lahir. Siapa bisa mengimpi pemuda ke pesantren kalau orang tuanya itu miskin? Karena kehidupannya susah, jadi manusia hanya sibuk menggunakan waktunya untuk mencari makan”. Sebagai seorang novelis, Semaoen ingin menyatakan dalam novelnya bahwa kehidupan rohani masyarakat bisa diperbaiki jika kehidupan ekonominya menjadi lebih baik.
Nasib Kadiroen dalam novel tersebut tidak jauh berbeda dengan nasib Semaoen di dunia nyata, mereka mendapatkan kasus presdelict dari pemerintah kolonial. Novel tersebut ditutup dengan kisah romantis dan sedikit melankolis antara Kadiroen dengan Ardinah seorang istri lurah yang dipaksa kawin. Menurut Iswara N Raditya dalam buku Tanah Air Bahasa, bisa disimpulkan karya Semaoen selaras dengan ideologinya yang berciri progresif dan radikal dan banyak membahas nasib kaum buruh serta pekerja.
Berbeda cerita dengan novel Semaoen, novel karya Mas Marco Kartodikromo, Student Hidjo lebih menekankan pada unsur budaya pada kehidupan priyayi. Tokoh utama dalam novel ini yaitu Hidjo seorang putra bangsawan pedagang dari Solo yang akan bersekolah di Belanda. Latar cerita novel tersebut hampir sama dengan kondisi Surakarta sekitar tahun 1918 yang masih kental budaya feodalistis. Campur tangan Belanda mengukuhkan feodalisme tersebut demikian menurut tulisan Agung Dwi Hartanto dalam Doenia Bergerak. Beberapa latar cerita menggambarkan tentang rapat besar SI di Solo.
Menurut Rudolf Mrazek dalam Engineers of Happy Land, Hidjo berarti Hijau dalam bahasa Melayu. Menurutnya Hidjo bisa diinterpretasikan sebagai simbol Islam, keteguhan dan kemurnian. Sebagian besar cerita dalam Student Hidjo menampilkan kisah-kisah cinta Hidjo dengan wanita disekitarnya jika dibaca secara sekilas tanpa interpretasi. Namun jika ditelaah lebih lanjut novel tersebut merupakan kritik atas feodalisme dan startifikasi social yang diciptakan oleh Belanda di tanah Hindia.
Masih menurut Rudolf Mrazek, novel tersebut secara berani mengkontraskan kehidupan Hindia Belanda dan negeri Belanda. Diceritakan oleh Hidjo bahwa di negeri Belanda juga terdapat pelayan atau budak. Bedanya budak tersebut berkulit putih dan melayani Hidjo sebagai tamu dari luar negeri.
Dikisahkan dalam akhir cerita bahwa Hidjo melamar Woengoe gadis bangsawan Jawa. Hampir sama dengan kisah Kadiroen, cerita Student Hidjo di bagian akhir juga dibumbui dengan kisah romantis walaupun tidak melankolis.
Kedua karya tersebut menggambarkan bagaimana karya sastra digunakan sebagai sarana kritik terhadap pemerintah kolonial. Semaoen membicarakan pemikiran politiknya melalui novel bersambung yang dimuat dalam surat kabar Sinar Hindia tahun 1919 walaupun dalam keadaan dipenjara kasus presdelict. Berbeda dengan tulisan novel Mas Marco Kartodikromo yang juga dimuat dalam Sinar Hindia. Tulisan Mas Marco Kartodikromo memberikan kritik halus terhadapa pemerintah Belanda melalui karyanya yang menceritakan feodalisme baik terjadi di Jawa maupun Belanda.
Menururt Agung Dwi hartanto dalam Doenia Bergerak, Student Hidjo merupakan rujukan bagi siapapun yang ingin mengetahui kondisi sosial awal abad ke-20 di Jawa. Kedua tokoh tersebut sama-sama tokoh pergerakan di organisasi yang sama, yakni SI cabang Semarang yang kelak menjadi PKI. Semaoen maupun Mas Marco Kartodikromo selain berpidato dan menulis opini di surat kabar juga menggunakan karya sastra sebagai sarana propaganda. Cerdas, lugas, dengan sedikit beringas dalam tulisannya ketika mengkritik pemerintah Hindia Belanda. Tidak heran jika keduanya sering tersandung kasus pressdelict.
Daftar Pustaka:
Hartanto, Agung Dwi. (2017). Doenia Bergerak: Keterlibatan Mas Marco Kartodikromo di Zaman Pergerakan (1890-1932). Temanggung: Kendi.
Kartodikromo, Mas Marco. (2015). Student Hidjoe. Yogyakarta: Narasi.
Marzek, Rudolf. (2006). Engineers of Happy Land. Jakarta: Obor.
Ricklefs, M.C. (2011). Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: UGM Press.
Semaoen. (2017). Hikayat Kadiroen. Yogyakarta: Octopus.
Taufik Rahzen, et. al. (2007). Tanah Air Bahasa: Seratus jejak Pers Indoensia. Jakarta : I:Boekoe.