Nugroho Notosusanto: Fiksi dan Pemujaan Pada Militer

Tokoh

Sembilan belas tahun setelah jatuhnya Soeharto sepertinya Indonesia belum sepenuhnya mampu beranjak dari narasi sejarah Orde Baru. Malahan ada gejala kerinduan kembali pada Orde Baru. Memasuki bulan September-Oktober wacana ketakutan kepada kebangkitan Komunis kembali menguat. Maklumat Panglima TNI Gatot Nurmantyo untuk kembali menyaksikan film sejarah Pengkhianatan G30S/PKI ternyata mendapat sambutan luar biasa dari masyarakat. Berbagai instansi mulai dari sekolah bahkan lembaga keagamaan berlomba memutar film tersebut. Padahal film tersebut sebagai film sejarah menuai banyak kontroversi. Adalah Nugroho Notosusanto kreator utama dari wacana besar kesejarahan pada masa Orde Baru. Film Pengkhianatan G30S/PKI salah satu karya propaganda Orde Baru yang paling kuat, dibangun berdasarkan analisis Nugroho terhadap aksi Gerakan 30 September.

Nugroho Notosusanto yang memiliki gelar tituler Brigadir Jenderal dan pernah menjabat kepala Pusat Sejarah ABRI sejatinya merupakan seorang sipil tulen. Khatarine E McGregor dalam karnyanya “Ketika Sejarah Berseragam: Membongkar Ideologi Militer dalam Menyusun Sejarah Indonesia” (2008) banyak mengulas latar belakang Nugroho Notosusanto. Lahir di Rembang 15 Juni 1931 Nugroho muda sejatinya begitu mengagumi jika tidak terobsesi dengan militer. Sempat bergabung ke dalam Tentara Pelajar yang dikenal juga sebagai Brigade ke 17 Tentara Nasional pada usia 14 tahun akhirnya ia mengikuti kehendak sang ayah. Selepas sekolah menengah di Yogyakarta ia memilih melanjutkan ke perguruan tinggi. Nugroho pada 1951 masuk Fakultas Sastra Jurusan Sejarah Universitas Indonesia (UI) dan tamat pada 1960. Selama sembilan tahun menjadi mahasiswa Nugroho aktif berorganisasi dan menulis sastra.

Pada mulanya Nugroho menulis karya sastra berbentuk sajak namun karena merasa kurang puas akhirnya beralih ke prosa khususnya cerpen dan esai. Selama menjadi mahasiswa cukup banyak karya sastra yang dihasilkannya. Karya sastra Nugroho nampaknya cukup diperhitungkan pada masanya. Dua buah cerpennya pernah dimuat penelaah Sastra Indonesia berkebangsaan Australia, Harry Aveling dalam bukunya From Surabaya to Armagedon (1976). Karya lain yaitu cerpen yang berjudul “Mbah Danu” pernah dimuat oleh HB Jassin dalam buku antologinya, “Angkatan 66” jilid pertama. Sementara itu Soekono Wirjosoedarmo dalam bukunya “Pengantar ke Arah Studi Sejarah Sastra III Sastra Indonesia Modern (Sastra Masa Perkembangan)” secara singkat mengulas biografi dan karya sastra Nugroho Notosusanto dalam kelompok angkatan 50.

Setelah merampungkan studinya di tingkat sarjana Nugroho mengajar di almamaternya UI. Pada tahun yang sama ia menikah dengan keponakan Direktur Seskoad Jenderal Suwarto. Mulailah babak baru baru dalam kehidupan Nugroho. Kedekatannya dengan Jenderal Suwarto memungkinkan Nugroho mendapatkan beasiswa Rockefeller Foundation untuk melanjutkan studi ke University of London. Sepulang dari London pada 1962 ia bergabung dengan Suwarto menjadi pengajar di Seskoad. Semenjak ini pula Nugroho tidak lagi aktif menulis karya sastra. Sepak terjangnya di Seskoad menarik perhatian panglima ABRI Jenderal Nasution. Ia kemudian direkrut untuk mengepalai Pusat Sejarah ABRI yang baru dibentuk.

Nugroho lalu dikenal dengan sikapnya yang sangat militeristik. Ia digambarkan begitu disiplin, suka mengendarai jip jika pergi ke kampus dan dalam acara resmi yang melibatkan dirinya sebagai Kepala Pusat Sejarah ABRI Nugroho suka berseragam militer lengkap. Selanjutnya kita bisa melihat bagaimana ia yang sejatinya seorang sejarawan profesional mampu melakukan tindakan-tindakan yang menciderai kapasitasnya tersebut. Nugroho melanjutkan pekerjaan yang dasar-dasarnya telah diletakkan oleh Nasution. Militerisasi sejarah Indonesia. Pengabdiannya kepada militer mampu mendorongnya melakukan tindakan-tindakan yang melampaui batas. Pada tahun 1980 Nugroho mulai menulis naskah film Pengkhianatan G30S/PKI berdasarkan narasi Orde Baru yang disusunnya sendiri. Film tersebut kemudian dirilis pada 1984 dan setahun kemudian tepatnya 3 Juni 1985 Nugroho meninggal. Nugroho pada puncak karirnya menjabat sebagai menteri Pendidikan dan Kebudayaan antara tahun 1983 hingga akhir hayatnya.

Melihat perilaku dan pengabdiaannya kepada militer menurut sejarawan Purnawan Basundoro patut dicurigai kondisi kejiwaan Nugroho, mengingat sejatinya ia seorang sipil tulen. Terlebih melihat bahwa Nugroho muda sewaktu belum menjadi bagian dari militer tidak menunjukkan permusuhan kepada komunis. Baru setelah menjadi bagian dari keluarga besar militer narasi dalam karya-karyanya menjadi sejalan dengan militer khususnya angkatan darat yang sangat anti komunis. Impian masa muda untuk menjadi tentara yang urung terwujud karena ketiadaan restu orang tua nampaknya masih tersimpan di hati Nugroho.

Wijaya Herlambang dalam bukunya Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti-Komunisme Melalui Sastra dan Film” menyatakan Nugroho mempunyai latar belakang unik yang bukan saja akademisi dan sejarawan tetapi juga sastrawan. Nugroho sepenuhnya sadar jika produk artistik dan kebudayaan adalah media yang ampuh untuk menyusupkan versi militer dari sejarah Indonesia khususnya periode 1965. Selain menghasilkan karya-karya akademis yang ditransformasikan ke produk artistik dan kebudayaan Nugroho sendiri aktif terlibat dalam proses transformasi kreatif tersebut. Salah satu yang paling mencolok tentu keterlibatan Nugroho dalam proses pembuatan film Pengkhianatan G30S/PKI. Sekarang sekian tahun setelah film Pengkhianatan G30S/PKI pertama kali dirilis dan meninggalnya Nugroho Notosusanto, fiksi yang ia bangun nyaris menjadi mitos suci yang tidak tertandingi.

 

Sumber Gambar: link