Zoo zal het zijn, kroonprins Anoem! Gy hebt my uw vinger geboden
Vast heb ik dien in den mond, en tot uw uitersten teenen
Zal ‘k u verslinden, u en al de uwen—en Java is mijner!
(Akan terjadi seperti ini, Adipati Anom! Engkau memberiku jari tanganmu
Telah ada di dalam mulutku, dan hingga seluruh kaki dan tanganmu
Akan kutelan, kau dan seluruh kepunyaanmu—dan Jawa jadi milikku!)
Penggalan syair Willem Jacob Hofdijk dalam In’t harte van Java yang terbit pada 1881 memberi gambaran tentang sosok dengan pengaruh kuat. Ia dianggap memiliki otoritas besar di Jawa. Akan tetapi, lebih dari 200 tahun setelahnya, sosok ini—seperti imaji Hofdijk—dipandang buruk dan rakus oleh Belanda.
Hikajat Tanah Hindia karya G.J.F Biegman menyebutnya sebagai “…kepala (pimpinan) orang jang doerhaka…”. Tetapi orang Jawa (tengah-selatan) tetap menghormatinya. Serat Centhini yang ditulis pada 1823 mengunci ingatan tentang sosok ini sebagai ulama yang kharismatik dan penuh kasih saat Mas Cebolang—dalam laku pengembaraannya—datang bertamu kepadanya.
Catatan orang Belanda yang buruk mungkin dimulai sejak keterlambatan mereka menyadari betapa pentingnya tokoh ini. Duta VOC untuk Mataram, Rijkloff van Goens, tidak pernah menyebut nama tokoh ini. Dalam Javaense Reise yang ditulis Rijkloff van Goens bersama Vincent Caimax dan Nicolaes de Vries, van Goens lebih banyak menyebut nama “Pangoran Porbaya” (Pangeran Purboyo).
Padahal dalam sebuah piagem yang dikeluarkan Sultan Agung (bertakhta 1613-1645) pada1641, namanya disebut sebagai salah satu sosok penting di istana Mataram.
Dua puluh satu tahun setelah van Goens menuliskan catatan perjalanannya pada 1656 ke istana Mataram, terjadilah kisah tragis pada akhir Juni 1677. Sewaktu Laksamana Speelman melayari laut Jawa dan menggempur Surabaya sejak April 1677—atas perjanjian Kumpeni dengan Amangkurat Agung (bertahta 1645-1677)—untuk menaklukkan para pembangkang Madura dan berhasil, sekonyong-konyong terdengar berita mengejutkan: Plered, ibukota Mataram di pedalaman Jawa yang megah dan penuh kanal air serta bendungan itu, jatuh.
Speelman yang mampu mengusir orang-orang Madura dibawah Trunojoyo ke Kediri tidak yakin pasukan Madura mampu menaklukkan pusat kuasa Mataram.
Lalu sayup-sayup mulai terdengar nama yang ikut terlibat dalam penghancuran Plered, yang mungkin asing bagi telinga Kumpeni: Raden Kajoran. Dia berupaya menggerakkan seluruh anggota klan-nya menentang Amangkurat Agung. Usahanya hampir sepenuhnya berhasil. Dari sini, kumpeni mulai menyadari peran tokoh di pedalaman itu dan Speelman segera mengutukinya: “nabi kaum iblis!”.
Orang Jawa (tengah-selatan) kemudian lebih mengingatnya sebagai Panembahan Romo—“bapa yang mulia”. Namanya selalu melekat dengan Trunojoyo: sebagai mertua sekaligus (dianggap) penghubungnya dengan adipati anom (putra mahkota, menjadi Amangkurat II atau Sunan Amral, bertahta 1677-1703) yang ingin merebut kuasa Mataram. Tetapi sesungguhnya ia punya takdirnya sendiri untuk mengguncang tanah Jawa serta mengubah segalanya atas Mataram. Semua berpangkal dari trah keluarganya yang masyhur: Kajoran.
Genealogi Kajoran
De Graaf dan Pigeaud dalam Kerajaan-kerajaan Islam Pertama di Jawa menyebut bahwa, berdasar catatan tradisi, Kajoran serta Tembayat, merupakan anak turun Lembu Peteng. Dalam Sajarah Banten (pupuh kesepuluh), Lembu Peteng merupakan anak satu-satunya prabu Majapahit. Ia selamat dari penyerbuan Demak karena diangkat anak oleh seorang tandha (pegawai niaga) di Bintoro [Husein Djajadiningrat, 1983:26; Titik Pudjiastuti, 1999: 158]. Babad Tanah Jawi menyebut Lembu Peteng atau Bondan Kejawan merupakan leluhur penguasa Mataram, Sutawijoyo (Panembahan Senopati, bertahta 1576-1603),melalui garis Ki Ageng Selo. Tokoh ini masyur dalam cerita-cerita Jawa tentang kesaktiannya menangkap petir.
“Sarasilah/Trah Kajoran” (1926)—satu catatan yang dibuat oleh keturunan Kajoran sendiri, Wiryatmo Adiwijoyo—menyatakan bahwa trah Kajoran berasal dari Panembahan Bathoro Katong, penguasa Ponorogo dan—jika ditarik keatas lagi—masih juga keturunan Brawijaya V. Pendiri Kajoran adalah Pangeran Molana Mas, yang kemudian dikenang sebagai Panembahan Agung ing Kajoran. Makamnya yang dianggap suci masih terawat hingga hari ini.
Narasi yang menyebut seseorang sebagai keturunan penguasa—apalagi hingga prabu Majapahit—merupakan upaya menunjukkan legitimasi politik dan umumnya dibuat jauh setelah tokoh itu tiada (post factum).Yang pasti, Panembahan Romo sendiri menyebut leluhur Kajoranhanya sampai pada Tembayat dan Semarang. Serat Tjandrakanta (1923), yang juga menjadi rujukan dalam penyusunan silsilah Kajoran, menyebut Pangeran Molana Mas—dimana ia disebut keturunan Sayyid Kalkum Wotgaleh—menikah dengan dua putri Sunan Tembayat.Klaim Panembahan Romo nampaknya sesuai dengan narasi itu. Kajoran masih kerabat Tembayat yang pernah menjadi penguasa Semarang.
Pajang-Kajoran-Mataram
Keluarga Kajoran menjalin relasi dengan penguasa Pajang dan Mataram. Pernikahan politik menjadi bagian penting dari relasi itu. Putra Prabuwijaya (Pangeran Benowo) Pajang, Pangeran Sinduseno, menikah dengan putri Panembahan Agung Kajoran. Dalam Tus Pajang (1939), putra Prabuwijaya itu bernama Pangeran Masdan putranya, Panembahan Raden, menikah dengan Raden Ayu Pangeran Raden. Dia putri Pangeran Raden ing Kajoran dengan Raden Ayu Wongsocipto, putri Panembahan Senopati.
Dalam silsilah Kajoran, Raden Ayu Pangeran Raden merupakan kakak perempuan pertamaPanembahan Romo.Dengan demikian Panembahan Romo merupakan cucu Panembahan Senopati. Ia satu generasi dengan Sultan Agung.Mungkin karena itu, Panembahan Romo dianggap penting di keraton Mataram di masa penguasa ketiga itu.
Sementara itu, paman Panembahan Romo, Pangeran Adipati Joyorogo, merupakanputra Panembahan Senopati dari putri kedua Panembahan Agung Kajoran. Joyorogomenjadi penguasa Ponorogo serta menjadi seseorang dari trah Kajoran pertama yang memberontak (pada 1608) terhadap Mataram dimasa Panembahan Hanyokrowati (bertahta 1601-1613). Ia akhirnya harus dibuang ke pulau Nungsa Barambang (Nusakambangan?).
Pernikahan politik masih diteruskan oleh Susuhunan Amangkurat Agung dan keturunannya. Susuhunandinyatakan mengambil seorang putri dari Kajoran sebagaiselirnya. Anak susuhunan, Pangeran Puger (kelak Sunan Pakubuwono I, bertahta 1704-1719), juga menikahi putri dari Kajoran (keponakan Panembahan Romo).Tus Pajang menyebut salah satu menantu susuhunan, Pangeran Adipati Wiromenggolo, juga berasal dari Kajoran.Ia putra Pangeran Arya Wiromenggolo, seorang pangeran berdarah Kajoran-Pajang. Nampaknya Wiromenggolo yang terakhir inilah—Babad Alitmenyebut Wiromenggolo ini, yang bisa jadi salah, sebagai menantu Panembahan Romo—dalam laporan kumpeni, secara tragis dihukum mati olehsusuhunankarena dianggap memberontak pada 1670.
Ikatan Kajoran-Mataram makin menguat karena saudara susuhunan, Adipati Purboyo (III), juga menikah dengan putri Panembahan Raden. de Graaf menyebut bahwa “…wangsa Purbaya mempunyai istri dari Kajoran (dan)…seolah-olah merupakan jembatan dari Kajoran dengan raja-raja Mataram”[H.J de Graaf1987/88:7]. Hubungan dengan wangsa Purboyo ini juga membuat Panembahan Romo semakin diperhitungkan.
Panembahan Purboyo (II) menikah dengan kakak perempuan Panembahan Romo. Sementara putranya, Pangeran Tumenggung Mataram (Purboyo IV), menjadi menantu Panembahan Romo. Para Purboyo ini, terutama kedua dan keempat, keturunan Purboyo I yang juga menikah denganadik perempuan Pangeran Raden. Karena itu Panembahan Romo, menurut silsilah, menjadi keponakan Purboyo I. Menariknya, Purboyo I dinyatakan sebagaiputra Panembahan Senopati dari putri keluarga Kyai Ageng Giring. Dengan demikian, ikatan-ikatan antara Kajoran, Giring dan Tembayat menjadi erat. Mereka dihormati di keraton Mataram.
Kesemuanya—terutama keturunan Kajoran, Tembayat dan Giring—akan memainkan peranannya masing-masing dalam pergolakan politik di Mataram. Dan semua nampaknya berpangkal pada apa yang telah dilakukan oleh Panembahan Romo.
Panembahan Romo dan jatuhnya Plered
Kekalahan pasukan Mataram di Gegodog Sidayu (13 Oktober 1676) menjadi pembuka atas kehancuran Mataram. Selepas itu, setidaknya terjadi dua kali serbuan yang dilancarkan para penentang Amangkurat ke keraton Plered. Serangan pertama (Januari-Februari 1977) gagal dan hanya berhenti di gerbang Pingit dan Taji (Prambanan). Serangan kedua (April-Juni 1977) yang lebih dahsyat mampu meruntuhkan ibukota Mataram.serangan-serangan ini menandakan aliansi yang kuat yang dibangun oleh Trunojoyo dan Panembahan Romo.
Dalam dua kali serangan itu, Trunojoyo tidak turut serta memimpin. Ia sibuk memperkuat posisinya yang tidak pernah stabil di Surabaya dan Kediri akibat tekanan Speelman dan ketegangan dengan sekutu Makasar dibawah Karaeng Galesong. de Graaf menyebut serangan pertama bercorak “Madura” dan serangan kedua bersifat “Jawa”.
Pada serangan pertama, kepemimpinan dipegang hampir sepenuhnya oleh orang Madura. Serangan ini awalnya lebih banyak dipusatkan melalui jurusan pesisir yang dilakukan pasukan Madura dengan orang-orang Makasar. Dalam kegentingan serangan pertama itu, Penembahan Romo tidak hadir dalam pertemuan di istana Plered dan justru bersama orang Kajoran bergabung di menit akhir dalam serangan ini. Kemarahan susuhunan meledak dan kalangan istana segera mengutuk Panembahan Romo serta menyebutnya ambalik: sang pengkhianat yang menyeberang kepada pihak musuh.
Kajoran segera dihancurkan oleh pasukan Mataram dibawah pimpinan utama Adipati Anom dan beberapa pembesar Mataram.Meski begitu, Panembahan Romo bersama keluarganya berhasil melarikan diri ke timur dibawah perlindungan pasukan Madura.
Serangan kedua nampaknya dirancang dengan matang dimana Panembahan Romo memiliki peran besar didalamnya. Ia membangkitkan semangat perlawanan orang-orang Madiun dan Ponorogo. Pasukan yang digerakkan dari Bang Wetan terbagi dalam dua arus: utara (pesisiran) dan selatan (pedalaman). Dalam dua pasukan penyerang itu, keluarga Kajoran—terutama anak dan keponakan Panembahan Romo—turut memimpin.
Saat Plered jatuh sejak 28 Juni 1677, ada sekira 20-25 ribu pasukan Jawa dan hanya 6-7 ratus pasukan Madura berada di Mataram. Dengan demikian, orang-orang Jawa dibawah trah Kajoran lebih banyak menguasai Mataram. Orang-orang Madura justru bergegas kembali ke timur dengan membawa barang rampasan yang banyak (barang berharga, uang senilai 350 ribu rial serta putri dan abdi wanita yang cantik).
Keruntuhan Mataram di fase ini menyisakan beban bagi Adipati Anom (Amangkurat II). Kekalahan di Gegodog, lolosnya Panembahan Romo dan kegagalan Adipati Anom mempertahankan Plered, membuat kalangan istana—terutama saudara-saudaranya—mencurigainya telah membuat persekongkolan jahat dengan Trunojoyo melalui Panembahan Romo. Kecurigaan ini terus diawetkan.Babad Tanah Jawi, yang dibuat oleh anak turun Puger, menyodorkan narasi itu: kejatuhan Mataram di Plered merupakan rencana tersembunyi—dan berjalan tidak terkendali—Adipati Anom, sekalipun kekejaman Amangkurat Agung menjadi pembukanya.
Bukan Trunojoyo, aliansi-aliansi yang retak
Selepas runtuhnya Plered, Mataram seolah menjadi terra incognito,terutama bagi kumpeni. Mataram seolah menjadi wilayah tersembunyi, tidak bertuan dan seakan tidak lagi dikenali, dimana beberapa kelompok mencoba menggenggamnya. Pesisir utara menjadi lebih sibuk dan kesanalah Amangkurat II mencoba menguatkan posisinya sebagai susuhunan.
Aliansi yang dibangun Amangkurat IIbersama kumpeni makin kuat, sementara aliansi-aliansi yang dibangun Panembahan Romo justru retak dan patah. Keberhasilanmeruntuhkan Mataram menyisakan masalah besar: siapa yang akan berkuasa atas Mataram. Pembagian wilayah antara Panembahan Romo dengan Trunojoyo menunjukkan retak pertama atas aliansi yang dibangun para penentang susuhunan.Panembahan Romo tidak lagi bersama Trunojoyo.
Kelemahan berikutnya, Panembahan Romo tidak berhasil mendapat dukungan sepenuhnya dari seluruh trah Kajoran.Paman Panembahan Romo, Kyai Buto Ijo, justru menjadi pemimpin pasukan Mataram yang menghancurkan orang-orang Kajoran di gerbang Taji pada fase pertama serangan yang gagal. Sementara pascaserangan kedua, utusan-utusan Panembahan Romo justru dihukum mati saat menyampaikan surat permintaan dukungan kepada Adipati Martopuro di Jepara. Kegagalan menarik simpati dan dukungan Martopuroyang disebut “saudara satu ayah dan satu ibu” oleh Panembahan Romo menandakan kegagalan orang-orang Kajoran menaklukkan pesisir.
Panembahan Romo berikut penerusnya dari trah Kajoran juga tidak mampu membangun aliansi-aliansi yang solid serta, nampaknya, tidak mampu mengangkat siapa yang akan memegang tahtaMataram. Dalam berita-berita Kumpeni yang terlambat, Panembahan Romo sesungguhnya menginginkan adiknya, Raden “Cahunan” sebagai penguasa Jawa Tengah. Dalam silsilah Kajoran, iadinamai Panembahan Anom (Aryo Panular). Keinginan ini tidak menjadi kenyataan.
Aliansi Panembahan Romo dengan seorang petualang Makasar, Namrud, hanya bertahan sebulan, sebelum akhirnya Panembahan Romo terbunuh oleh kaum mercenaries Bugis dibawah Kapten Jan Albert Slootpada14 September 1679.Dalam waktu singkat, aliansi yang dibangun Kajoran dengan Pangeran Puger—yang mengangkat dirinya sendiri menjadi Susuhunan ing Alaga di Plered—juga gagal. Selepas kematian Panembahan Romo, Kartonadi dan Kartonagoro(keponakan dan anak Panembahan Romo) yang memimpin pasukan Kajoran harus mendapati kenyataan pahit bahwa Puger menyerah dan kembali kepada Amangkurat II pada 17 November 1681.
Dukungan-dukungan dari pusat spiritual Tembayat juga telah dilumpuhkan oleh pasukan susuhunan dan kumpeni sejak Oktober 1980.Sementara keluarga Kyai Wonokusumo, sebagai trah Ki Ageng Giring, yang sejak awal mendukung gerakan Panembahan Romo, justrumenginginkan seseorang dari trahnya sebagai penguasa, bernama Mas Sutodito. Keinginan ini juga tidak terwujud. Pasukan Wonokusumo dihancurkan dan Mas Sutodito terbunuh di alun-alun Kartasura saat menyerbu keraton baru Amangkurat II itu pada 18 Februari 1682.
Di saat terakhir, pertahanan Wonokusumo diruntuhkan di pegunungan selatanoleh pasukan susuhunan pada November 1683. Beberapa orang pemberontak tertangkap. Salah satunya, Panembahan Anom, adik Panembahan Romo yang pernah dipersiapkan menjadi penguasa. Keberadaan Panembahan Anom ini mungkin telah menunjukkan pembalikan (giliran Kajoran mendukung Wonokusumo) dan merosotnya pengaruh Kajoran.
Selama lebih 6 tahun pergolakan yang telah terjadi, pada mulanya mungkin Panembahan Romo tidak menyadari bahwa sekalipun mampu menghancurkan Mataram, usahanya nampak sia-sia. Meski begitu, Panembahan Romo telah menempatkan trah Kajoran sebagai pelopor dan menjadi kontra-elite yang paling berpengaruh dan mampu mengubah narasi sejarah Mataram. Gambaran ringkas Babad Cirebon secara simbolik mungkin sesuai dengan itu: Kajoran, seorang muslim saleh yang “bertapa menantang matahari”.