Peter Van Dongen: Mengenal Identitas Melalui Riset

Tokoh

Berdarah Indonesia, nenendanya berasal dari Ternate lantas kawin dengan seorang keturunan Tionghoa. Bertahun kemudian, berkat kisah sang bunda yang sempat mukim di Hindia, membikin komik berlatar Jawa & Selebes pada 1946. Risetlah yang membawanya pada pertemuan dengan kerabat jauh di pelosok Ternate.

Sebuah buku tertangkap pandangan ketika tengah menyusuri Shoping Center, Yogyakarta, Ahad tiga pekan lalu. Berukuran agak besar dan sampul mencolok, Sebuah Ilustrasi Hutan Hujan Tropis Lebat. Ditindas tulisan The Lost City of Z  novel avontur karya David Grann. Tidak seperti kebanyakan,  nama perancang sampul terletak di luar buku, di pojok kanan bawah berwarna putih. Terbaca jelas: Peter Van Dongen.

Kisah berlanjut. Beberapa hari kemudian, saya kembali menemukan buku berjudul Sang Juragan Teh karya Hella S. Haase yang di unggah salah seorang pelapak buku daring di Facebook. Sampulnya berlukis seorang meneer Belanda tengah menunggang kuda dan berlatar perkebunan teh. Lagi-lagi, nama Peter van Dongen muncul.

Siapa dia? Kenapa namanya musti terpampang dalam kaver buku itu?

Akhirnya, tengah pekan lalu, ketika mendatangi diskusi di toko buku di bilangan Condongcatur, saya bertemu lagi nama Peter van Dongen. Tapi, kali ini ia bukan sebagai perancang sampul. Ternyata, ia seorang pengarang komik. Bukan hanya satu, namun dua judul komik sekaligus.

Mengabaikannya, itulah sikap yang saya lakukan. Ketidaktahuan membuat demikian.

Hingga, saya iseng datang ke toko buku sekaligus perpustakaan O.TH (Octopus dan Toko Hitam) di Plosokuning, Ngaglik, Sleman, Yogyakarta, Sabtu kemarin. Di sana, mata saya tertambat pada Ruang Baca,  suplemen Koran Tempo ihwal bacaan. Pada suplemen edisi 15 Mei 2005 itu, dalam satu tulisan membahas serba-serbi Peter Van Dongen.

“Nah, ketemu lagi dengan orang ini,” pikir saya. Demikianlah, melalui deretan buku, pertemuan itu terajut.

Siapa Dongen?

“Peter Van Dongen menulis kisah fiksi dengan mengambil lokasi beberapa tempat di Indonesia (di antaranya Jakarta, Surabaya, Blitar, Bandung, dan Makassar). Bahkan sebagian di antaranya secara spesifik melukiskan suasana di Tanjung Priok, daerah Pecinan di Glodok, pedalaman Jawa Tengah, Pasara Atom di Surabaya, stasiun kereta api, perkampungan, persawahan, dan perkebunan.” (Ruang Baca, Koran Tempo, 15 Mei 2005)

Peter Van Dongen adalah komikus asal negeri Van Oranye yang lahir pada 1966. Sepintas, bila kita akrab dengan tokoh Tintin karya komikus Belgia, Herge, maka guratan tintanya tak jauh beda. Memang, Dongen mengaku terpengaruh gaya Herge dan tumbuh sebagai komikus otodidak. “Terutama buku Tintin, Lotus Biru,” katanya. Komik yang berkisah tentang pendudukan Jepang atas Tiongkok itu baginya telah membukakan cakrawala pengetahuan. “Anda bisa cerita apapun melalui komik,” katanya, menukil esai Surjorimbo Suroto di Ruang Baca.

Dalam wawancara yang dimuat situs Whiteboardjournal, Dongen berkisah kali pertama dirinya berkenalan dengan dunia komik ketika berusia 14.  Saat itu, ia berkenalan dengan seorang komikus Belanda bernama Willem Vleeschouwer. “Dia yang membawa saya ke dunia komik Belanda,” ujarnya.

Sebelum benar-benar menceburkan diri dalam semesta komik Dongen bekerja di bidang periklanan. Pada 1990, karya debutnya beredar, sebuah komik bertajuk Muizentheater (Teater Tikus). Tak lama kemudian, usai karya pertamanya terbit, ia tancap gas untuk karya kedua yang lantas ia beri judul Rampokan Jawa, terbit perdana oleh …, Amsterdam. Selang enam tahun, Pustaka Primatam mengambil hak terbitannya untuk Indonesia.

Ide membuat kisah Rampokan Jawa terilhami dari pengalaman traumatis sang ibunda. Ibundanya, yang berdarah Hindia (Ternate-Tiongkok), mengalami peristiwa pemboman saat agresi pada 1946 berkecamuk. Kala itu, sang bunda tinggal di kota pelabuhan di Selebes, Makassar.

Dongen membikin cerita Rampokan itu berlatar di Jawa, pada kisaran 1946. Dikisahkan, setahun usai Jepang kalah, Belanda datang lagi untuk meneruskan kuasa di Indonesia. Johan Knevel, seorang serdadu Belanda, di tengah pelayaran dari Belanda ke Jawa untuk misi itu tak sengaja membunuh temannya. Ia dihantui oleh perasaan bersalah dan arwah temannya seolah-olah selalu membuntuti. Selama bertugas di Jawa, ia teringat dengan inang pengasuhnya bernama Ninih yang seorang Hinda. Ketika pasukan Belanda menyuruhnya menahan seorang perempuan Hindia, ia kembali teringat Ninih. Lantas, ia bantu perempuan itu untuk kabur.

Rampokan ialah metafor. Rampokan adalah kebiasaan mengadu macan (perlambang Belanda) dan banteng (perlambang Jawa) di dalam arena yang pinggrinya dikepung oleh orang-orang bertombak yang terakhir diadakan di Jawa pada 1880 di Blitar. Demikian juga kisah Dongen. Belanda yang perlahan terus dipaksa mundur oleh orang-orang Republik diibaratkan sang macan yang kabur dari arena rampokan. Tapi, novel grafis ini tak cuma berkisah soal peperangan, melalui tokoh-tokohnya ia juga sarat akan nuansa psikologis

Untuk membangun narasi ini, Dongen mesti melakukan riset panjang. Waktu itu mesin pencari Google ataupun Youtube belum ada, jadi untuk mencari kondisi suatu tempat tidak segampang saat ini. Alhasil, ia mesti bolak-balik ke perpustakaan untuk mencari rujukan latar belakang Jawa maupun Sulawesi bertahun silam. “Saya pergi ke perpustakaan untuk mencari buku, dokumenter tentang era ini dan tentang Indonesia/Hindia Belanda di masa kini,” kata pria kelahiran Amsterdam itu.

Ia juga banyak menggunakan foto tua zaman Hindia Belanda, kota-kota, literatur, novel yang berbahasa Indonesia maupun Belanda. Bahkan, kata Dongen, ia juga menggunakan buku harian para tentara. Risetnya juga banyak tertolong berkat koleksi Tropical Museum Amsterdam yang memiliki koleksi foto tua dari Makassar. Seluruh prosesnya memakan waktu empat tahun.

Untuk keperluan riset novel grafis ini pula, pada 1992, Dongen menyempatkan untuk menjejakkan kaki di Indonesia demi mencari gambaran orisinal tentang negara kepulauan ini.  Meski begitu, persoalan waktu cukup merintanginya, karena, seperti yang Dongen katakan, Indonesia saat itu berbeda dengan Indonesia pada 1946 yang menjadi latar ceritanya.

Kisah rampokan juga tak hanya berhenti di Jawa. Seri kedua rampokan terbit pada 2005 berjudul Rampokan: Celebes. Kisah-kisah ini dibumbui oleh beragam karakter dari kedua pihak, Belanda maupun Indonesia. Hubungan yang terjalin pun dalam rupa-rupa bentuk. Tidak melulu bahwa yang baik adalah Indonesia, sedang yang buruk Belanda. Saling kelindan, rumit, dan kompleks.

 

Belatara Indonesia

Ketika ia ditanya mengapa kisahnya berlatar Jawa dan Sulawesi, Dongen menjawab bahwa kebanyakan buku tentang Hindia Belanda dan kemelut pascakemerdekaan, Jawalah episentrumnya. Sedang, untuk pemilihan Sulawesi bersandar pada latar ibunya yang mukim di sana. Selain itu, katanya lagi, “Saya tertarik kepada Kapten Westerling yang bertanggung jawab atas brbagai aksi militer yang menewaskan banyak warga Indonesia.”

Dongen, yang kini akrab dengan Indonesia, negeri leluhurnya, sudah beberapa kali mengunjungi kota-kota seperti Malang, Bandung, Yogyakarta, dan Makassar. Dari sekian tempat yang sudah ia kunjungi itu, baginya, bangunan-bangunan tua di Makassar pada periode Belanda yang sangat menginspirasinya.

Pada kunjungannya tahun 1992 ke Indonesia untuk keperluan riset, ia juga menyempatkan diri mencari makam keluarganya di pemakaman Eropa di Ternate. Lantas, seorang tua menghampirinya dengan membawa sepotong foto hitam putih bergambar makam. Ia menyebutkan banyak nama-nama keluarga yang telah pindah ke Belanda. Ternyata, orang itu masih keluarga jauhnya. “Perasaan saya saat itu sungguh menakjubakan. Orang ini, orang yang asing bagi saya, ternyata adalah keluarga saya. Padahal kami terpisah jauh, terpisah oleh lautan luas,” tandasnya.

 

Sumber Gambar: link