PKI: Merawat Ideologi Dengan Kaderisasi Melek Huruf

Politik

Partai Komunis Indonesia (PKI) merupakan bagian dari sejarah Indonesia yang tidak dapat dilupakan atau bahkan dihilangkan. Kiprah PKI mulai dari berdirinya sampai dengan runtuhnya selalu menarik untuk dicermati lebih dalam. John Rossa mengatakan, “PKI akan selalu berbeda karena ia adalah Komunisme di luar Eropa, di sebuah masyarakat agraria yang besar dengan banyak tradisi-tradisi pra-modernnya.” Banyak kajian yang telah mengulas PKI yang berangkat dari sudut pandang dan cara penjelasan masing-masing, meskipun sebagian banyak memiliki kesamaan atau bahkan terlihat seperti penggulangan.

PKI telah menunjukkan keberhasilannya menjadi pilihan bagi sebagian masyarakat Indonesia. Hal ini dapat dilihat dalam hasil pemilu legislatif dan konstituante 1955, PKI mampu menduduki posisi ke empat setelah PNI, Masyumi, dan NU. Max Lane dalam buku Malapetaka di Indonesia menyebutkan jika, “aliansi PKI-Soekarno bakal memenangi pemilu atau pemilihan-pemilihan regional apapun yang digelar setelah 1960.” PKI menjadi salah satu partai yang diperhitungkan dalam percaturan politik di Indonesia apalagi setelah jumlah massanya kian hari kian banyak. Besarnya dukungan massa terhadap PKI diungkapkan oleh Donald Hindley dalam The Communist Party of Indonesia, “menjelang 1963 bersama dengan organisasi-organisasi masanya, PKI mengklaim memiliki keanggotaan lebih dari 20 juta orang.” Pada kurun waktu 1955-1965 tidak dapat dipungkiri bahwa PKI memiliki kekuatan besar dalam politik Indonesia.

Militansi kader-kader PKI dan keberhasilan dalam menggerakkan massa tidak dapat terlepas dari pengaruh kebijakan pendidikan yang ada dalam tubuh PKI. PKI meletakkan pendidikan sebagai prioritas karena pendidikan dalam partai dianggap sebagai penanaman bibit ideologis bagi para kader. Tahun 1950 dibawah D.N. Aidit pendidikan kader dibentuk secara terstruktur. Pendidikan kader dilakukan dari struktur terendah sampai dengan dengan nasional. Comite Central (CC) struktur tertinggi dalam PKI menentukan cara penyelenggaraan pendidikan, cara mengajar, cara belajar, dan mata pelajaran sesuai dengan plan 3 tahun pendidikan hasil dari sidang pleno ke-4 tahun 1956. Setiap comite wajib untuk mengorganisasi Sekolah Partai dan Kursus Partai. Materi untuk pendidikan kader meliputi filsafat materelisme dialektika, sejarah, gerakan buruh internasional, perkembangan masyarakat, pokok-pokok revolusi Indonesia, persatuan nasional, dan pembangunan partai. Pendidikan kader nantinya menghasilkan kader-kader yang akan kembali ke daerah asal atau daerah yang telah ditentukan. Tugas mereka para kader adalah mengajar di daerah tersebut. Apa yang dilakukan dalam tugas mengajar akan menentukan nasib para kader, apakah mendapatkan promosi, tetap tinggal atau bahkan menggulang pendidikan.

Kader-kader yang telah lulus kemudian ditempatkan untuk mengajar di daerah-daerah. Penempatan tersebut sejalan dengan tujuan PKI yang ingin menyelenggarakan pendidikan untuk masyarakat umum. Ruth T. McVey dalam buku Mengajarkan Modernitas: PKI sebagai Sebuah Lembaga Pendidikan menjelaskan, “Tahun 1957 PKI meluncurkan Kampanye Buta Huruf (PBH) yang ditujukan baik untuk kadernya maupun untuk publik.” Sejak Indonesia merdeka masih sangat banyak ditemukan masyarakat yang buta aksara terutama di desa-desa. Hal ini memang tidak dapat dipungkuri karena sistem pendidikan Belanda dan Jepang sebelumnya tidak menyentuh masyarakat sampai lapisan paling bawah.

Tahun 1958 PKI mendirikan Departemen Pendidikan Ilmu dan Kebudayaan (DPIK). DPIK membuat Yayasan Pendidikan Nasional yang berubah menjadi Lembaga Pendidikan Nasional. Lembaga Pendidikan Nasional inilah kemudian mendirikan Universitas Rakyat (UNRA) pada tahun 1958. McVey mengungkapkan, “Inspirasi ideologis dan metode mengajar yang diterapkan universitas rakyat berasal dari Taman Siswa, gerakan sekolah liar paling terkemuka pada masa kolonial, dan Taman Siswa memberikan banyak pengaruh besar terhadap pemikiran PKI mengenai pendidikan.” UNRA mulai didirikan di berbagai kota di Indoensia tercatat berdiri di 17 kota besar. UNRA mendapati berbagai permasalahan karena jumlah mahasiswa yang semakin banyak akan tetapi sistem pengajaran belum maksimal, permasalahan seperti ketersedian tenaga pengajar menjadi permasalahan besar. Akhirnya UNRA diganti menjadi Unra Gaja Baru (UGB) yang langsung dipimpin oleh D.N. Aidit sendiri. UGB fokus di wilayah pedesaan ada pembagian jenjang pendidikan yaitu Sekolah Dasar/Panti Pengetahun Rakyat (Panpera), Sekolah Menengah Pertama/Balai Pengetahuan Rakyat (Bapera), dan Sekolah Lanjut Atas/Mimbar Pengetahuan Rakyat (Mipera). Para lulusannya akan mendapat ijazah dari DPIK, namun untuk dapat diakui sama dengan lulusan sekolah negeri mereka harus menempuh ujian negara.

Sistem pendidikan yang diterapkan oleh UGB berjalan bersama dengan pendidikan kader yang dilakukan. Sekolah Partai dan Kursus Partai terus dilaksanakan sebagai usaha memantapkan ideologi kader dan praktik-praktik kader yang langsung diterapkan dengan terjun diberbagai daerah. Hasilnya banyak masyarakat kelas bawah yang akhirnya melek huruf kemudian melanjutkan pendidikan melalui Panpera, Bapera, dan Mipera. Tidak dapat disangkal lagi pada akhirnya anggota PKI adalah para siswa-siswa dari para kader PKI yang selanjutnya mereka menjadi kader PKI pula. Sistem pendidikan yang diterapkan oleh PKI pada akhirnya adalah usaha untuk menanamkan dan menyebar ideologi mereka, hasilnya sangat singnifikan dengan jumlah anggota dan keberhasilan di pemilu. Banyak kemudian perguruan tinggi yang didirikan atau berafiliasi dengan PKI beberapa diantaranya adalah Akademi Ilmu Sosial Aliarcham (AISA), Universitas Res Publica, Universitas Kesenian Rakjat (UNSERA), dan IKIP Dr. Cipto Mangunkusumo. Akan tetapi setelah peristiwa G30S terjadi, Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan Syarif Thajeb menutup dan membubarkan semua lembaga pendidikan yang didirikan atau ada sangkut pautnya dengan PKI. PKI melalui lembaga pendidikan setidaknya telah meberikan solusi nyata untuk pemberantasan buta aksara yang tidak dapat diselesaikan pemerintah sendiri.

 

Sumber Gambar: historia.id