Potret Pendidikan Kapitalis Kita

Sosial Budaya

Secara etimologi, sekolah dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa latin, yaitu schola yang secara harfiah bermakna “waktu luang”. Istilah tersebut kemudian diadopsi ke dalam Bahasa Inggris menjadi school. Asal-usul sekolah dan istilahnya dimulai saat zaman Yunani Kuno. Saat itu kaum pria Yunani dalam mengisi waktu luang mereka dengan cara mengunjungi suatu tempat dan disitulah juga ada seorang yang bijaksana yang dianggap memiliki pengetahuan luas. Mereka lalu mengajukan pertanyaan dan mempelajari bersama-sama berbagai hal dengan orang bijak tersebut. Aktivitas tersebut kemudian disebut dengan istilah istilah scola, skhole, scolae atau schola yang seluruhnya memiliki makna “waktu luang yang digunakan secara khusus untuk belajar”. Seiring berjalannya waktu, kebiasaan tersebut tidak lagi hanya menjadi milik pria dewasa semata melainkan juga mulai diikuti oleh kaum wanita dan bahkan anak-anak.

Perkembangan kehidupan yang kian beragam dan mengambil waktu orang tua, ayah dan ibu merasa tidak punya waktu lagi untuk mengajarkan banyak hal kepada anak-anak mereka. Oleh karena itu, mereka menitipkan anak-anak mereka kepada orang bijak (seorang guru) untuk diajarkan ilmu pengetahuan yang luas dan mempelajari segala ilmu pengetahuan tersebut. Di tempat itulah anak-anak bermain, belajar dan berlatih melakukan sesuatu yang apa saja yang mereka anggap patut dipelajari dan sampai saatnya kelak mereka harus kembali kerumah mereka menjalankan kehidupan sebagaimana semestinya menjadi orang-orang dewasa semestinya. Sejak itulah, terjadi pengalihan sebagai dari fungsi scola matterna (kepengasuhan itu sampai usia tertentu) yang merupakan sebuah proses dan lembaga tertua umat manusia, menjadi scola in loco parentis (lembaga pengasuhan anak-anak pada waktu senggang di luar rumah sebagai pengganti ayah dan ibu).

Akhirnya lembaga kepengasuhan atau pendidikan sebagai tempat pengasuhan dan pembelajaran anak-anak pada waktu senggang di luar rumah sebagai pengganti orang tua disebut almamater yang memiliki makna “ibu yang mengasuh” atau “ibu yang memberikan ilmu”. Dengan demikian pendidikan sekolah sebenarnya adalah tempat mengembangkan bakat, minat, rasa ceria dan menyenangkan untuk belajar menjadi manusia yang diinginkannya. Bukan seperti saat ini dimana sekolah sepertinya sebuah tempat yang dipaksa untuk mengikuti kurikulum tertentu yang bias menimbulkan “kebencian” dan kebosanan untuk belajar. Pendidikan kita seharusnya memberikan edukasi tentang pentingnya pendidikan bagi kehidupan kita sehari-hari. Setidaknya anak didik kita mengerti dan memahami dengan betul bahwa mereka harus memiliki semangat berprestasi dan berkompetisi. Kurangnya pemahaman itu memang terlahir dari latar belakang lingkungannya sendiri. Yang menjadikan pendidikan yang acuh dan bersifat formalitas.

Pendidikan yang akan penulis tulis adalah sebuah pendidikan yang ramah bagi peserta didik. Peserta didik harus dapat belajar secara langsung. Apabila mereka belajar tentang pohon maka seyogianya mereka harus memanjat pohon itu dan bergelantungan di dahan serta rantingnya. Namun pada saat ini sekolah sudah berubah orientasinya. Sekolah menjadi seperti perusahaan yang menerepkan sistem seleksi begitu ketat bagi calon pelamarnya. Bagi yang tidak lolos tes atau standar yang telah ditetapkan oleh sekolah tersebut, maka mereka tidak boleh masuk ke sekolah tersebut. Hal ini tidak jauh berbeda dengan sebuah perusahaan yang menerapkan sistem seleksi bagi calon karyawannya. Pertanyaannya kemudian, bagaimana dengan nasib calon peserta didik yang tidak lolos seleksi masuk ke sekolah tersebut? Hal ini kemudian memunculkan paradigma “sekolah unggulan hanya untuk mereka orang-orang pintar saja”. Sungguh sangat tidak memanusiakan. Sejatinya mereka hanya ingin belajar ditempat yang terbaik yang ada di negeri ini, untuk meningkatkan kompetensi, bukan untuk melamar pekerjaan yang dituntut memiliki sekudang kompetensi.

Perihal sekolah nampaknya semakin membiaskan arti dari pendidikan itu sendiri. Pasalnya pendidikan menrud UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS) dalam Bab 1 Ayat 1 disebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuik mengembangkan spiritual, penegndalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara. Dari penjelasan tersebut seharusnya sudah jelas bawa sekolah adalah sebuah fasilitas khusus untuk mewujudkan proses belajar mengajar agar peserta didik dapat secara aktif mengembangkan potensi yang dimilikinya. Pesera didik adalah seorang anak yang harus merdeka dengan cara dan potensi mereka masing-masing. Analoginya, seorang guru yang bijaksana tidak akan mungkin menyuruh seekor ikan untuk memanjat sebuah pohon karena  hanya monyet yang bisa memanjatnya. Hal ini juga berlaku bagi seorang anak manusia yang memiliki cara dan proses yang berbeda dalam belajar dan mengembangkan diri. Dari pengertian tersebut sudah jelas bahwa seharusnya sekolah hanya sekedar fasilitas. Maka dari itu mendirikan serta mengelola sekolah bukan merupakan pekerjaan yang menguntungkan secara ekonomis–atau pun kepentingan finansial yang kapitalistik. Sekolah adalah tempat belajar mengajar. Jika kemudian sebuah sekolah dibangun demi kepentingan Kapitalis maka itu tentu salah besar. Karena mendirikan sekolah lebih dekat dengan mengabdi kemanusiaan yang posisinya terletak di pelosok hati nurani yang paling dalam.

Pendidikan idealnya bukanlah sebuah komoditas melainkan sebuah gerakan sosial untuk memajukan umat manusia. Ironisnya, secara tidak sadar praktik komodifikasi pendidikan kerapkali terjadi sekalipun banyak pihak menyangkalnya. Secara sadar atau tidak, sistem pendidikan kita di Indonesia sering dijadikan ajang pencarian keuntungan atau “pengkapitaliskan pendidikan”. Hal ini dapat kita lihat dari banyaknya kasus anak-anak yang putus sekolah karena tidak memiliki biaya pendidikan oleh orang tuanya. Sudah berapa banyak kasus yang demikian? Seakan uang sangat ‘sakral’ sekali bagi pendidikan, bukankah pendidikan adalah sebuah hal yang luar biasa dengan mencerdaskan bangsa? Padahal dalam undang-undang dasar 1945 pasal 31 menyatakan bahwa mendapatkan pendidikan adalah hak bagi setiap warga negara. Sangat disayangkan apabila persoalan ini jarang diungkap melalui berbagai media. Sekali lagi penulis menggaris bawahi bahwa dunia pendidikan yang semestinya dibangun berdasarkan nilai-nilai kemanusian, kebijaksanaan dan sebagai tempat ‘ramah dan menyenangkan’ haruslah tercapai. Hal ini menjadi bahan perenungan bagi kita bersama sudah ‘sejujur’ apakah pendidikan kita? Sudahkah kita memanusiakan manusia dalam sistem pendidikan kita? Hal ini bisa di jadikan refleksi dari keberpihakan dunia pendidikan pada kekuasan kapital.

Sumber Gambar: Dokumentasi Pribadi