Pribumi Terpelajar dan Nilai-nilai Modernitas dalam Pergerakan Nasional Indonesia

Politik

Kaum intelektual memiliki peran penting dalam sejarah panjang umat manusia. Pada era Yunani Kuno kaum intelektual seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles memberi pengaruh besar dalam bidang pemikiran. Pengaruh mereka tidak hanya terbatas bagi masyarakat Yunani namun juga bagi umat manusia pada umumnya. Kaum intelektual pula yang mendorong semangat Renaissance di Eropa sebagai respon terhadap dominasi Gereja pada abad pertengahan. Peran penting kaum intelektual dalam sejarah tidak hanya terjadi di Eropa saja. Di Indonesia istilah peranan kaum intelektual ini banyak dimainkan oleh golongan pribumi terpelajar. Salah satu peran penting golongan pribumi terpelajar adalah membidani lahirnya pergerakan nasional Indonesia.

Hal tersebut tidak terlepas dari kondisi Indonesia pada awal abad XX mengalami dinamika sosial-politik yang kompleks akibat kebijakan politik etis. Politik etis diberlakukan di Nusantara sejak Ratu Wilhelmina menyatakan dalam pidatonya bahwa Belanda memiliki hutang moril terhadap rakyat pribumi Nusantara. Ratu Wilhelmina menyatakan jika Belanda memiliki tanggung jawab untuk memajukan rakyat pribumi Nusantara. Politik etis memiliki tiga program yaitu irigasi, edukasi, dan transmigrasi. Program edukasi kepada masyarakat pribumi ini kemudian memunculkan golongan pribumi terpelajar.

Golongan pribumi terpelajar mayoritas merupakan produk dari pendidikan modern yang dirancang oleh pemerintah kolonial Belanda. Pendidikan merupakan program terpenting politik etis. Pendidikan dianggap sebagai salah satu solusi untuk memperbaiki kondisi sosial-ekonomi masyarakat pribumi yang hancur akibat penerapan sistem ekonomi Liberal. Kaum terpelajar tersebut diharapkan mampu ikut serta dalam perbaikan kondisi tersebut, meskipun perannya masih sangat terbatas.

Politik etis memang tidak sepenuhnya berhasil dalam pelaksanaanya terutama dari sudut pandang masyarakat pribumi. Persoalan paling mendasar ialah pihak pemerintah kolonial menjadikan masyarakat pribumi sebagai obyek dari kebijakan ini. Hal ini dikarenakan masyarakat pribumi tidak diberikan kesempatan untuk merumuskan kebijakan yang dapat memperbaiki taraf hidup mereka sendiri. Pada akhirnya masyarakat pribumi sama sekali tidak diajak untuk memahami dan memberikan solusi terhadap masalah yang mereka hadapi sendiri. Politik etis sesungguhnya juga merupakan alat pemerintah kolonial untuk mempertahankan kekuasaanya di Nusantara. Snouck Hurgronje menganggap dengan memberikan pendidikan Barat, maka orang-orang pribumi. Nusantara bisa diarahkan menuju kesatuan budaya dengan orang-orang Belanda. Kesatuan budaya ini yang kemudian dianggap dapat  mempermudah kontrol pemerintah kolonial terhadap orang pribumi.

Sisi lain kebijakan politik etis tersebut menimbulkan reaksi di kalangan pribumi terpelajar. Kaum pribumi terpelajar secara cermat mampu mewarisi nilai-nilai modernitas yang didapat dalam sistem pendidikan kolonial. Nilai-nilai tersebut mampu ditransformasikan sebagai upaya membebaskan kaum pribumi dari belenggu penjajahan kolonial. Nilai-nilai tersebut terwujud dalam tiga ciri utama yaitu kesadaran diri, sikap kritis, serta progresif. Ketiga hal tersebut harus dipahami secara utuh serta tidak boleh terpisah. Kesadaran diri akan membentuk sikap kritis yang kemudian menciptakan semangat kemajuan dalam masyarakat. Untuk itu,  penting kiranya bagi kita untuk mengulas lebih lanjut nilai-nilai tersebut.

Kesadaran diri merupakan suatu usaha untuk memanusiakan manusia sekaligus upaya untuk menentukan identitas diri maupun kelompok. Sebagai contoh Kartini berusaha mencari hingga akhirnya menemukan kesadaran akan emansipasi wanita. Kartini memiliki kesadaran bahwa kaum wanita tidak boleh hanya dianggap sebagai konco wingking bagi kaum pria. Bagi Kartini, wanita sudah seharusnya didudukkan setara dengan pria, sehingga wanita juga dapat memiliki hak yang sama dengan pria. Selain Kartini, tokoh-tokoh pergerakan nasional lain juga memiliki corak kesadaran serupa, semisal Tirto Adhi Soerjo yang berusaha mengangkat derajat kaum terperintah, ataupun KH Ahmad Dahlan yang mengajak kaum muslim kembali menjalankan agama Islam sesuai syariat ditengah berkembangnya sikap bid’ah dalam masyarakat. Dengan demikian, kesadaran diri juga memiliki semangat emansipatoris untuk membebaskan manusia dari beragam belenggu yang mengikatnya.

Upaya untuk mewujudkan kesadaran diri tersebut tentu menghadapi berbagai kendala. Kendala-kendala tersebut terutama sekali bersumber dari budaya feodal Timur, serta dominasi pemerintah Kolonial Belanda. Dalam hal ini sikap kritis menjadi penting digunakan sebagai upaya untuk mengahadapi kendala-kendala tersebut. Sikap kritis menuntut kita untuk terus-menerus mempersoalkan realiatas serta menolak sikap taken for granted terhadap realitas maupun tradisi tertentu. Sikap kritis ini kemudian mendorong kaum intelektual untuk menjadi oposisi dari tradisi yang menindas. Sebagai contoh, Kartini terang-terangan menolak dominasi kaum laki-laki terhadap wanita yang sangat dipengaruhi budaya Jawa. Semantara itu, Tirto Adhi Soerjo juga mengambil sikap serupa dalam upayanya menghadapi dominasi pemerintah kolonial Belanda. Dengan demikian, sikap kritis merupakan suatu jalan mewujudkan kesadaran diri dengan menolak sikap menerima mentah-mentah terhadap segala hal yang ada dalam masyarakat.

Sikap kritis tentu jangan dipahami secara destruktif saja namun juga harus dipahami secara konstruktif. Kritik modern selalu mengandung semangat kemajuan dengan tujuan yang pasti. Dengan kata lain, sikap kritis merupakan sumber dari munculnya semangat kemajuan. Nilai-nilai kemajuan ini yang kemudian diproyeksikan ke masa depan dalam bentuk cita-cita akan terwujudnya suatu tatanan ideal dalam masyarakat. Munculnya semangat nasionalisme Indonesia pada awal abad XX merupakan contoh nyata dari nilai-nilai kemajuan yang dimiliki oleh kaum Intelektual. Nasionalisme Indonesia merupakan cita-cita luhur yang sumber utamanya merupakan penolakan terhadap praktik penjajahan kolonial Belanda.

Bagaimana semangat dan nilai-nilai modernitas tersebut dipraktekan dalam ranah pergerakan nasional? Menurut Takashi Shiraishi, pergerakan nasional Indonesia tampil dalam beragam bentuk seperti surat kabar, jurnal, rapat, pertemuan, serikat buruh, partai, pemogokan, karya seni dan sastra, serta pemberontakan. Nilai-nilai modernitas yang mengedepankan kesadaran diri, sikap kritis, serta semangat kemajuan nyatanya memberikan inspirasi bagi beragam bentuk tersebut. Tujuan utamnya adalah memperjuangkan kepentingan emansipatoris kaum pribumi yang sebelumnya terbelenggu oleh dominasi pemerintah kolonial Hindia Belanda. Dalam perkembangannya, nilai-nilai modernitas tidak hanya dimonopoli oleh golongan pribumi terpelajar saja, melainkan mampu tersebar luas kepada kaum pribumi pada umumnya. Nilai-nilai modernitas ini pula yang memberi inspirasi lahirnya nasionalisme Indonesia. Dengan demikian, pembentukan nation Indonesia tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai modernitas yang diartikulasikan oleh golongan pribumi terpelajar.

Pada akhirnya, nilai-nilai modernitas tersebut juga harus menjiwai kehidupan berbangsa dan bernegara pada masa kini. Meskipun demikian nilai-nilai modernitas juga tidak boleh ditelan mentah-mentah begitu saja yang secara langsung justru menciptakan suatu paradoks dalam nilai-nilai tersebut. Nilai-nilai modernitas harus senantiasa didialogkan secara kritis dan rasional sehingga tidak kehilangan semangat emansipatorisnya. Selain itu kita tidak boleh menutup mata akan sejumlah hambatan yang juga lahir sebagai produk modernitas. Hambatan yang bersifat kultural maupun politis, seperti paradigma teknis yang mengakar kuat dalam pola pikir masyarakat harus dapat disikapi secara kritis. Sebagai penutup, saya mengutip perkataan Antonio Gramsci, seorang pemikir Marxis sekaligus tokoh Partai Komunis Italia, yang menyatakan bahwa “Semua orang adalah intelektual namun tidak semua orang memiliki fungsi intelektual”. Inilah tantangan bagi kita semua untuk menjalankan fungsi intelektual dalam menghadapi berbagai persoalan dalam realitas. Dengan demikian cita-cita emansipatoris dan semangat kemajuan dalam tradisi modern tidak hanya menjadi slogan usang belaka.

Kepustakaan:

Edward Said. (2014). Peran Intelektual. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor.

Hanneman Samuel. (2010). Genealogi Kekuasaan Ilmu Sosial: Dari Kolonialisme Belanda hingga Modernisme Amerika. Jakarta: Kepik Ungu.

Parakitri T. Simbolon. (2006). Menjadi Nusantara. Jakarta: Penerbit Kompas.

Takashi Shiraishi. (2005). Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926. Yogyakarta: Grafiti Press.

Sumber Gambar: link