Robertus Robet dan Pewarisan Politik “Rust en Orde”

Politik

Aktivis sekaligus Sosiolog Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Robertus Robet ditangkap polisi pada Rabu tengah malam tanggal 6 Maret 2019. Robet langsung dibawa ke Mabes Polri untuk menjalani pemeriksaan. Penyebabnya adalah viralnya sebuah video yang menampilkan Robet menyanyikan yel-yel satir yang dianggap menghina institusi TNI pada Aksi Kamisan pekan ke-576 tanggal 28 Februari 2019. Meski telah melakukan klarifikasi atas video yang beredar, polisi tetap menetapkannya sebagai tersangka.

Kasus yang dialami Robertus Robet ini menimbulkan tanda tanya besar. Ia dijerat dengan pasal 207 KUHP. Adapun Pasal 207 KUHP berbunyi ”Barang siapa dengan sengaja di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina suatu penguasa atau badan hukum yang ada di Indonesia diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Penahanan ini cacat hukum. Pasal 207 KUHP sebenarnya bertentangan dengan putusan MK No. 013-022/PUU-IV/2006 yang menyatakan bahwa pasal 207 KUHP hanya dapat disangkakan atas dasar pengaduan (bij klacht). Dalam kasus Robet terdapat dua kejanggalan yakni pertama penangkapan Robet berdasarkan Laporan Model A yang berarti penangkapan tersebut didasarkan laporan polisi yang mengalami atau mengetahu peristiwa secara langsung, padahal jika berdasarkan putusan MK diatas, pasal 207 KUHP hanya dapat disangkakan apabila ada pengaduan; kedua pihak yang dianggap dihina dalam hal ini Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) sudah tidak ada lagi. Oleh karena itu dapat disimpulkan jika pasal yang disangkakan kepada Robet tidak tepat.

Penangkapan Robertus Robet merupakan sebuah tragedi yang mencederai demokrasi. Sejatinya kebebasan menyatakan pikiran dan sikap sesuai hati nurani serta mengeluarkan pendapat dijamin dalam pasal 28E ayat (2) dan (3) Undang-Undang Dasar 1945. Pada prakteknya, masih banyak orang yang ditangkap dan dipenjara hanya karena pendapatnya dianggap meresahkan masyarakat atau mengganggu ketertiban umum. Sebuah alasan klise yang sebenarnya tidak lebih dari upaya membungkam suara-suara kritis dari masyarakat.

Apa yang dialami oleh Robet tak jauh berbeda terjadi apa yang menimpa para aktivis pergerakan nasional pada masa Kolonial. Ada banyak aktivis yang dikriminalisasi karena tulisan-tulisannya dianggap melecehkan pejabat kolonial atau mengganggu ketertiban umum. Praktek ini bahkan masih berlanjut hingga Indonesia merdeka.

Tirto Adhi Soerjo, bapak pers nasional pernah mengalami kejadian yang serupa tapi tak sama. Dalam buku Tanah Air Bahasa yang ditulis oleh Taufik Rahzen, dkk disebutkan jika seorang pejabat kolonial di Purworejo bernama A. Simon memperkarakan Tirto karena sebuah tulisan di Medan Prijaji No. 19 tahun 1909. A. Simon merasa dirinya dilecehkan oleh Tirto karena ia disebut sebagai “monyet ingusan”.

Kritik tajam Tirto bermula saat A. Simon bersama dengan Wedana Tjorosentono secara sepihak mengangkat lurah di desa Bapangan yang tidak disukai oleh warga. Parahnya lagi, tokoh yang didukung warga bernama Mas Soerodimedjo malah ditangkap dan dikenai hukuman. Terbakar oleh amarah, Tirto mengkritik habis A, Simon melalui sebuah tulisan di Medan Prijaji. Malang bagi Tirto, ia dianggap bersalah dan dijatuhi hukuman buang ke Lampung.

Kita juga sering mendengar bahwa artikel berjudul Als Ik Eens Nederlander Was (Andai Saya Seorang Belanda) mengantarkan penulisnya mendapatkan hukuman pembuangan dari pemerintah kolonial. Artikel itu berisi sindiran terhadap rencana pelaksanaan peringatan kemerdekaan Belanda yang dibiayai oleh darah kaum bumiputra. Tulisan ini membuat berang pemerintah kolonial. Sang penulis, Soewardi Suryaningrat alias Ki Hajar Dewantara dianggap melanggar pasal 26 Drukpersreglements/delichtpers. Ia kemudian harus menjalani hukuman pembuangan di Belanda selama tahun 1913 sampai tahun 1918.

Aktivis Sarekat Islam Merah, Darsono juga pernah dipenjara di Surabaya pada tahun 1918 karena alasan persdelict. Ia dianggap terlalu keras mengkritik pemerintah kolonial sehingga harus mendekam di penjara. Delik pers nampaknya menjadi senjata ampuh pemerintah kolonial untuk membungkam suara-suara kritis dari pemerintah kolonial.

Pemerintah kolonial pada dasarnya berupaya mewujudkan rust en orde (ketertiban dan kemanan) selama berkuasa. Demi terwujudnya rust en orde inilah, maka setiap pihak yang dianggap mengganggu ketertiban harus segera “ditertibkan” oleh negara kolonial, entah melalui pembuangan atau dijebloskan ke dalam penjara.

Setelah kemerdekaan, nampaknya upaya negara Indonesia merdeka untuk mewujudkan rust en orde dengan tindakan yang bertentangan dengan demokrasi, sebagaimana tindakan yang dilakukan pemerintah kolonial masih kerap terjadi.

Pada tahun 1964 misalnya, saat Sukarno berkuasa, ia membubarkan sebuah perkumpulan pers anti Komunis bernama Barisan Pendukung Sukarnoisme (BPS). Alasannya, BPS diduga didukung oleh CIA meskipun tuduhan ini tidak sepenuhnya terbukti. Bahkan menurut Edward C. Smith dalam buku Pembredelan Pers di Indonesia, tokoh-tokoh BPS dijebloskan ke dalam penjara tanpa melalui proses peradilan.

Memasuki era Orde Baru, upaya pembungkaman kebebasan berpendapat demi terciptanya stabilitas nasional jamak ditemui. Salah satu kasus yang masih lekat dalam ingatan tentu saja penculikan dan penghilangan sejumlah aktivis pro demokrasi di masa akhir kepemimpinan Soeharto. Para aktivis dianggap melakukan tindakan subversif terhadap negara sehingga perlu disingkirkan. Sekali lagi, hal tersebut dilakukan demi terciptanya ketertiban dan keamanan di masyarakat.

Kasus yang menimpa Robertus Robet tidak jauh dari upaya pelaksanaan politik rust en orde tersebut. Meskipun tuduhan yang disangkakan belum jelas, namun karena lagu yang dinyanyikan oleh Robet dianggap mengganggu ketertiban karena menghina institusi negara tertentu, maka ia dijerat lewat pasal KUHP.

Disinilah letak ironinya, negara Indonesia merdeka justru bertindak tidak jauh berbeda dengan negara kolonial. Kritik terhadap suatu penguasa atau salah satu pejabat dianggap sebagai hal yang tabu dan bahkan dianggap tindakan kriminal. Pasal-pasal karet diciptakan demi terwujudnya rust en orde. Padahal sebagai negara yang mengaku negara demokrasi, kritik adalah hal yang lumrah kalau bukan dianggap sebagai suatu keniscayaan.

Puluhan tahun Indonesia telah merdeka, namun dalam beberapa hal warisan negatif pemerintah kolonial masih tetap saja dilestarikan. Kita tentu perlu membela dan menuntut pembebasan Robertus Robet karena orasinya jelas tidak dapat dianggap sebagai bentuk penghinaan terhadap institusi manapun. Terlebih pasal yang disangkakan terhadapnya juga bertentangan dengan putusan MK.

Agaknya penyelenggara negara saat ini tidak dapat lepas dari obsesi penciptaan rust en orde ala pemerintah kolonial. Bahkan kalau perlu segala hal dilakukan demi terciptanya ketertiban dan keamanan termasuk dengan mencederai demokrasi. Kasus yang menimpa Robertus Robet ini mengingatkan kita bahwa lonceng kematian demokrasi di Indonesia mulai berbunyi.

Sumber Gambar: https://www.pantau.com/berita/video-nyanyian-kontroversial-aktivis-robertus-robet