Diskusi di Studiesclub memanas diantara keduanya. Bahkan setelah diskusi selesai, ketegangan di forum tersebut masih berlanjut di luar. Sampai-sampai ketika mereka bertemu tak terjadi saling sapa.
Pada periode akhir Demokrasi Terpimpin, situasi politik di Jakarta makin memanas. Mahasiswa dan aparat militer terus bersitegang dengan pemerintahan Sukarno. Diskusi-diskusi mahasiswa semakin menjamur di berbagai kampus di Jakarta dan sekitarnya. Dalam buku Petite Histoire Indonesia Jilid 4 dikisahkan, ada sebuah komunitas diskusi terkenal saat itu bernama Studiesclub yang dibina oleh Maruli Situlonga, Ketua Gerakan Mahasiswa Sosialis (GMS) dan mantan pegawai Sekretaris Negara. Diskusi tersebut bertempat di Rumah Menantu Maruli, Margono Djojohadikusumo pendiri Bank Negara Indonesia (BNI) yang juga kakek dari Prabowo Subianto. Diskusi tersebut menjadi wadah buat sejumlah pemuda untuk belajar mengenai masalah modernisasi yang pada awal 1960-an literaturnya sudah masuk ke Indonesia. Studiesclub kemudian juga berperan mempertemukan untuk pertama kali sejumlah tokoh, salah satunya seorang mahasiswa yang bernama Soe Hok Gie dengan seorang wartawan senior yaitu Rosihan Anwar.
Gie, panggilan akrabnya merupakan mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya dengan Jurusan Sejarah di Universitas Indonesia dan dia begitu aktif dalam organisasi serta sering menulis di media massa. Hal ini menjadikannya seorang aktivis yang begitu kritis baik dari kebijakan kampus ataupun Pemerintahan Sukarno saat itu. Dalam tulisan Tempo yang dikutip buku Catatan Seorang Demonstran atau biasa dikenal Catatan Harian Soe Hok Gie, Salim Said menuliskan bahwa tulisan Gie sering menghiasi media massa baik dalam maupun luar negeri. Mulai dari sinilah kemudian Gie terkenal di kalangan mahasiswa dan masyarakat umum. Sedangkan Rosihan Anwar merupakan salah satu wartawan yang selama hidupnya dihabiskan untuk kerja jurnalistik. Beliau juga dikenal mendirikan surat kabar Pedoman yang dibredel dua kali, di zaman Sukarno dan Suharto.
Pertemuan pertama kali mereka di Studiesclub di rumah Margono yang saat itu hadir pula tokoh-tokoh seperti Ong Hok Ham, P.K Ojong, Frans Peransi, dan Zinal Zakse. Dalam bukunya Petite Histoire Indonesia Jilid 3, Rosihan Anwar menuliskan bahwa mereka sedang berdiskusi mengenai modernisasi yang saat itu banyak dikaji di negara Amerika dan Inggris. Dalam diskusi tersebut, Rosihan menuliskan bahwa Gie adalah peserta yang cerdas, cepat menangkap, punya kemampuan artikulasi yang bagus. Ojong dan Auyong tampil sebagai pelerai bila diskusi memanas. Parensi penyimak instens. Zakse rada sukar mengutarakan pemikirannya, sedangkan Ong adalah pendiam. Rosihan suka memberi komentar pedas dan sinis kepada Gie dan ia menganggap bahwa itu normal dalam pikiran di kalangan kaum intelektual.
Rupanya hal itu membuat Gie tak suka dengan cara diskusi Rosihan Anwar. Dalam buku Catatan Seorang Demonstran, Gie menuliskan bahwa Rosihan adalah orang sombong, arogan seperti PSI lainnya. “Orang-orang angkatan ’45 berpikir mereka adalah yang paling hebat. Dari grup mereka ini (sisa-sisa PSI) sudah terlalu senang dan terpandang, borjuis, sehingga mereka menjadi pengecut”. Tulisan ini kemudian membuat kaget Rosihan Anwar yang kemudian dituliskan dalam bukunya Petite Histoire Indonesia Jilid 3. “Alangkah kagetnya saya, Gie menuliskan dalam buku catatan harian yang diterbitkannya mencap saya arogan”. Rosihan Anwar menambahkan lagi ketika mereka berdua bertemu di dekat Tugu Monas. Pada saat itu saat mereka berpapasan, Gie membuang muka dan tidak menyapa Rosihan Anwar.
Rosihan menangkap bahwa Gie begitu marahnya kepada dia setelah diskusi. Padahal, menurut Rosihan teman-teman lainnya pada diskusi yang lalu tidak bereaksi demikian. Dalam bukunya Petite Histoire Indonesia Jilid 4, Rosihan menambahkan lagi sosok tentang Gie, “Bagi saya, Gie adalah orang yang tidak tahu berterima kasih”. Hal ini jelas beralasan karena Rosihan sudah meluangkan waktunya hanya untuk menjadi pemantik diskusi di Studiesclub. Tapi, setelah diskusi Gie malah memperlakukan Rosihan Anwar seperti orang tak dikenalnya dan ini jelas berbeda dengan sikap anggota Studiesclub lainnya.
Permusuhan ini pun akhirnya usai ketika Soe Hok Gie harus menjemput ajalnya di Puncak Mahameru di Bulan Desember tahun 1969. Rudy Badil dalam bukunya, Soe Hok-Gie…Sekali Lagi: Buku Pesta dan Cinta di Alam Bangsanya, Gie meninggal bersama Idhan teman rombongan pendakian Gunung Semeru akibat menghirup gas beracun dalam usia 27 tahun. Sedangkan Rosihan meninggal di usia 89 tahun akibat serangan jantung.