Sejarah Indonesia, Identitas Kita

Politik

“Dengan terhapusnya masa lalu, hilanglah identitas individu atau kelompoknya. Seseorang yang kehilangan ingatan akan masa lalunya, dengan sendirinya akan kehilangan identitasnya.” (Sartono Kartodirjo)

Kamis sore, 17 September 2020, draf penyederhanaan kurikulum terbaru oleh Kemendikbud berhasil membuat gelisah para pegiat sejarah. Grup WhatsApp (sejarah) ramai dengan pesan singkat yang mengkritisi isi dari draf tersebut. Sebagai guru sejarah, penulis pun tak dapat menghindari diskusi dalam pesan singkat tersebut. Agenda Webinar dan pernyataan sikap dalam waktu singkat dibuat. Beralihnya mata pelajaran sejarah yang semula mata pelajaran wajib menjadi mata pelajaran pilihan di tingkat SMA adalah pemicunya.

Tepat sepekan setelah hari itu, penulis mengajak murid-murid kelas X IPS berdiskusi tentang isu yang masih hangat tersebut dalam Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Sebagai pemantik diskusi, penulis minta murid-murid untuk membaca sebuah artikel dari Sejarawan Peter Carey yang dimuat oleh media daring Tirto.id yang berjudul “Apa Akibatnya Jika Mapel Sejarah Dihapus dari Kurikulum Nasional?”. Selesai membaca, penulis minta mereka untuk menuliskan pendapatnya untuk nantinya disampaikan kepada teman-temannya. Siang itu tidak semua murid menyampaikan pendapatnya, entah karena dihantui rasa malu, tidak percaya diri atau masih dihinggapi rasa lelah sebab kemarin baru saja menyelesaikan agenda penilaian tengah semester satu. Ada enam murid yang menyampaikan pendapatnya. Kurang lebih pendapat mereka yang berhasil penulis rangkum, sebagai berikut :

Jasmine, “Sejarah itu penting, banyak manfaatnya bagi kita. Dalam kehidupan, agar kita tidak mengulangi kesalahan yang sama. Jika dihapus, pelajaran sejarah akan semakin kurang jamnya, terlebih saat dulu SD dan SMP belum begitu menyadari pentingnya belajar sejarah. Ketika sudah di SMA barulah menyadari betapa pentingnya pelajaran sejarah buat kita.”

Ulfia, “Kalau murid tidak tahu sejarah bangsanya, terus nanti nasionalisme yang seperti apa yang kami pelajari?”

Razan, “Seperti yang dipelajari sebelumnya, kalau sejarah itu memiliki nilai guna edukatif, sebagai pelajaran buat kita, dan berguna di masa depan.” Pernyataannya merujuk pada empat nilai guna sejarah yang dikemukakan oleh Nugroho Noto Susanto, yaitu edukatif, inspiratif, rekreatif dan instruktif.

Annisa, “Sejarah sebagai pedoman, agar tidak mengulangi kesalahan yang sama.”

Seno, ”Sejarah itu sebagai pendidikan moral generasi penerus.”

Humam, ”Sejarah itu membuat kita mengenali bangsa kita, negara kita, budaya kita. Jangan sampai seperti kemarin, sewaktu budaya kita diklaim oleh negara lain kita baru bersikap.”

Murid-murid di tingkat SMA seperti yang penulis minta pendapatnya di atas berada pada masa remaja yang mengalami perkembangan fisik dan psikis dari sebelumnya, yaitu masa kanak-kanak. Kemampuan intelektualnya pun turut berkembang, yaitu sudah mampu untuk berpikir secara logis, muncul kemampuan nalar secara ilmiah. Mengamini pernyataan dari Jasmine bahwa di tingkat SMA, dia baru menyadari pentingnya belajar sejarah. Kini, dia mampu menggali dan memahami nilai-nilai dari pembelajaran sejarah di kelas. Sungguh disayangkan, apabila pada saat generasi penerus berada pada masa pencarian jati diri, mereka tidak memiliki tokoh/sosok yang dapat menjadi inspirasi. Mereka tumbuh dan berkembang tanpa dibekali pendidikan karakter akan nilai-nilai heroisme dan nasionalisme.

Penulis di akhir pembelajaran menekankan pada murid bahwa mereka mesti tumbuh dan berkembang menjadi generasi yang hebat, sama hebatnya seperti Hayam Wuruk dan Gajah Mada yang berupaya menyatukan Nusantara di bawah bendera Majapahit, atau seperti Bung Karno dan Bung Hatta yang berhasil memimpin perjuangan mewujudkan dan mempertahankan  kemerdekaan bagi Indonesia. Jangan biarkan generasi kita kehilangan identitas dan tujuan dalam hidupnya. Jangan sampai mereka buta akan sejarah bangsanya. Mereka lebih dari berhak untuk mengetahui sejarah bangsanya, sejarah Indonesia.