Beberapa sekolah memang memiliki andil untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Sisanya, tidak sedikit dari sekelompok sekolah tersebut terseok akan peran serta fungsinya. Sekolah bisa juga dikaitkan dengan fasilitator utama untuk mencapai amanat konstitusi Undang-Undang. Sekolah bertanggung jawab dalam proses mencerdaskan kehidupan bangsa. Pemerintah sebagai pemangku kebijakan, sekolah sebagai pelaksana.
Seperti apa yang telah disebutkan di atas, tidak sedikit sekolah yang akan terseok, gagap akan peran serta fungsinya. Terdapat kesenjangan antara masyarakat kelas bawah dengan masyarakat kelas atas dalam pembiayaan sekolah. Di Yogyakarta misalnya, dari Sekolah Menengah Atas swasta saja, orangtua harus membayar setidaknya SPP satu semester sebesar 1 juta (bahkan lebih), belum lagi dengan uang gedung, ditambah beberapa fasilitas penunjang seperti seragam, buku, dsb. Orangtua harus mengeluarkan biaya yang banyak untuk masuk ke jenjang tertentu. Sehingga muncul beberapa pemikiran bahwa pendidikan yang mahal tentu bermutu, beban mahalnya sekolah juga menjadi beban masyarakat.
Pada akhirnya sektor swasta menjadi bebas mengelola pendidikan. Pendidikan masuk menuju ranah komersil, hal ini menjadi celah bagi swasta untuk masuk. Sehingga pemerintah tak lagi peduli akan amanat konstitusi: terselenggaranya pendidikan bagi seluruh warga negara, mencerdaskan kehidupan bangsa. Segala sarana-prasarana persekolahan dilemparkan ke dalam mekanisme pasar. Dalam titik inilah kekhawatiran eksklusifitas sekolah muncul. Sekolah lama-kelamaan menjadi tempat eksklusif bagi mereka yang memiliki modal dan mampu membayar. Sekolah yang pada awalnya menjadi sarana mencerdaskan kehidupan bangsa pada kenyataannya justru hanya dinikmati oleh kalangan pemilik modal saja.
Mekanisme pasar merambah sekolah, ketika tanggungjawab pemerintah melemah. Hal ini ditunjukan dengan masuknya sektor tertentu ke dalam pendidikan. Pemerintah membuat celah yang sederhana, mengakibatkan masuknya mekanisme pasar dalam pendidikan. Salahsatu celah itu muncul ketika penerimaan siswa baru. Dengan adanya penerimaan siswa, sekaligus juga ada ratusan bahkan ribuan siswa yang tak mendapatkan sekolah. Hal inilah yang dimanfaatkan sektor lain untuk mendapatkan “pangsa” pasar yang ada. Hingga saat ini, teknologi penerimaan siswa kian canggih. Segala hal dapat diakses melalui daring. Hal ini juga menjadi tantangan tersendiri bagi orangtua, siswa, dan beberapa sekolah yang saling bersaing.
Proses seleksi siswa baru telah merambah di beberapa lini melalui teknik modern. Sistem daring yang sedang digaung-gaungkan sekarang memang memiliki beberapa kelebihan. Hal ini juga ditunjang oleh relevansi zaman yang sudah memerlukan teknologi yang ringkas, cepat, dan mutakhir. Seleksi siswa baru lewat online secara sistematis melempar siswa yang memiliki nilai ujian rendah dan miskin finansialnya untuk memasuki sekolah-sekolah swasta. Sehingga dengan mengatasnamakan otonomi sekolah, besarnya tarikan biaya yang harus dibayarkan bisa bervariasi.
Sistem daring tak mengenal kompromi. Mau tidak mau, orangtua merasa dipaksa oleh sekolah secara satu arah. Masuk sekolah dan naik kelas sama-sama memerlukan biaya yang tinggi. Orangtua menjadi terpojok dan tidak memiliki pilihan lain kecuali membayar uang masuk atau daftar ulang kenaikan kelas demi kelanjutan sekolah anaknya. Pada titik ini posisi tawar orangtua siswa menjadi lemah, yang pada akhirnya memaksa mereka harus menuruti apa yang diinginkan oleh pihak sekolah. Orangtua terjebak oleh suatu sistem pasar, mekanisme yang memaksa mereka untuk tetap ikut.
Sekolah sudah tidak ada bedanya lagi dengan sistem bank, bahkan sistem pasar. Sekolah menjadi tempat (pasar) paling potensial, tanpa harus kesusahan mencari pelanggan, layaknya pedagang kain lewat dengan tendensi agar orangtua membelikan anaknya kain untuk seragam anaknya. Pasar yang berpotensi besar bagi pedagang buku tulis, asuransi, seragam, dan berbagai hiruk pikuk pasar-pendidikan selama ini
Kondisi tersebut sangat berbanding terbalik dengan gagasan pendidikan Ki Hajar Dewantara. Dalam bukunya yang berjudul Pendidikan, Ki Hajar banyak membahas mengenai konsep pendidikan yang berfungsi sebagai pemenuhan hak-hak dasar manusia. Bagi Ki Hajar, pendidikan tidak melulu membahas mengenai teknik-teknik sarana fisik dalam pendidikan. Teknik dan sarana fisik yang dimaksud ialah tentang seragam, buku, dan segala pirantinya.
Dalam bukunya tersebut, Ki hajar memiliki konsep bahwa pendidikan itu merupakan upaya yang hakiki untuk memanusiakan manusia. Bukan justru sebaliknya, dengan embel-embel pendidikan hanya dijadikan dalih meraup keuntungan pribadi bagi institusi dan justru meninggalkan rasa kemanusiaan itu sendiri. Lantas, dimana letak pendidikan yang memanusiakan itu berada. Jika hal tersebut terus dilakukan, tak khayal banyak orang bersekolah di negara ini tapi justru malah semakin jauh dari nilai-nilai pendidikan.
Sehingga apa yang harus dilakukan sekolah adalah tidak mengharuskan secara sepihak kepada orangtua dengan membeli hal-hal yang tidak sejalan dengan keperluan pendidikan itu sendiri. Sekolah harusnya bukan lembaga komersil yang profit orientet. Mengutip apa yang telah ditulis ST Kartono dalam bukunya Sekolah bukan pasar: Mereka yang terlibat dalam komite sekolah, yang umumnya berasal dari kalangan intelektual dan ekonomi yang mampu, diharapkan memakai “kacamata” orangtua kebanyakan dalam menyetujui tarikan biaya.
Realitas tersebut dibangun atas dasar keterpaksaan berkedok kewajiban. Sesuai amanat konstitusi, pemerintah memiliki kewajiban atas terselenggaranya pendidikan bagi bangsanya. Tentunya, amanat itu ada bukan untuk diingkari, tapi juga dijalankan.
Sumber gambar: Network for Education Watch Indonesia (New Indonesia)