Soedjatmoko: Dokter, Diplomat, dan Peletak Dasar Historiografi Indonesia

Tokoh

14 Desember 1957, Universitas Gajah Mada (UGM) di Yogyakarta nampak lebih sibuk dari biasanya. Pada hari itu, sejumlah intelektual dari pelosok negeri berduyun-duyun menuju Universitas negeri pertama yang didirikan pasca kemerdekaan Indonesia tersebut. Kedatangan mereka merupakan bagian dari agenda pelaksanaan Seminar Nasional Sejarah pertama yang diselenggarakan di republik yang masih berumur sangat muda itu.

Menurut Gani A. Jaelani dalam artikel berjudul Nasionalisasi Pengetahuan Sejarah: Meninjau Kembali Agenda Penulisan Sejarah Indonesiasentris 1945-1965, Seminar tersebut diawali oleh inisiasi Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan, Sarino Mangunpranoto. Inisiasi ini muncul setelah penyelenggaran Seminar Ilmu dan Kebudayaan tahun 1956. Ide Sarino ini berhasil direalisasikan oleh penggantinya, Prof. Dr. Prijana yang kemudian menunjuk UGM sebagai penyelenggara.

Alasan pelaksanaan seminar tidak lain adalah ketiadaan buku teks sejarah yang memadai bagi sekolah-sekolah di Indonesia. Akan tetapi, seminar ini kemudian membahas hal-hal yang lebih luas dari sekedar buku teks pelajaran sejarah di sekolah. Ada enam tema pokok yang dibahas dalam seminar tersebut yaitu, konsepsi filsafat sejarah nasional, periodisasi sejarah Indonesia, syarat-syarat penulisan sejarah Indonesia, pembelajaran sejarah nasional di sekolah, pendidikan sejarawan, dan pemeliharaan serta penggunaan bahan sejarah.

Tema pertama mengenai “konsepsi filsafat sejarah nasional” merupakan tema yang paling banyak mengundang perhatian. Ada dua tokoh yang paling menonjol dalam perdebatan tema ini. Pertama adalah politisi Moh. Yamin, penulis buku Gadjah Mada dan 6000 tahun Merah-Putih yang sangat kental dengan nuansa nasionalis. Kedua adalah Soedjatmoko, seorang intelektual yang juga dikenal sebagai politisi Partai Sosialis Indonesia (PSI).

Masih menurut Gani A. Jaelani, Moh. Yamin yang mendapat giliran lebih dulu berpidato menyampaikan gagasannya mengenai “Filsafat Sejarah Nasional”. Bagi Yamin, filsafat sejarah nasional merupakan suatu filsafat sejarah “jang mentjari kebenaran dengan menafsirkan synthesis kedjadian2 diperdjalanan sedjarah Indonesia dalam ruangan hidup ruhani dan djasmani Bangsa Indonesia”. Gagasan Yamin ini menyiratkan dengan tegas bahwa penulisan sejarah nasional harus didasari pada etos nasionalisme demi tumbuhkembangnya ideologi kebangsaan Indonesia.

Soedjatmoko yang datang menggantikan Moh. Hatta, keberatan dengan gagasan Yamin tersebut. Ia menggugat konsepsi filsafat sejarah nasional ala Yamin dengan mengatakan “dengan mengadjukan masalah suatu filsafah sedjarah nasional, sebenarnja kita telah meninggalkan bidang ilmu sedjarah sebagai ilmu, dan telah mengindjak suatu lapangan lain, jaitu lapangan ideologi, lapangan penggunaan sedjarah untuk keperluan politik jang achirnja bisa mendjurus kearah demagogie”. Soedjatmoko, yang memang lebih dikenal sebagai intelektual daripada politis berupaya mengingatkan bila ilmu sejarah harus bebas nilai dan tidak boleh hanya menjadi abdi dari suatu ideologi termasuk Nasionalisme. Bagi Soedjatmoko, sejarah harus tetap berada dalam koridor keilmuan sehingga dapat melawan mitos-mitos sekalipun mitos tersebut dianggap memperkuat rasa Nasionalisme.

Pada akhirnya, konsepsi Yamin lebih diterima oleh hadirin. Penerimaan tersebut tidak mengherankan mengingat pada masa tersebut semangat Nasionalisme masih sangat bergelora di kalangan intelektual dan politisi Indonesia. Meskipun demikian, gagasan Soedjatmoko justru memberi sumbangsih penting dalam meletakkan dasar historiografi Indonesia.

Setahun berselang seminar sejarah tersebut, Soedjatmoko mendapat kepercayaan menjadi dosen tamu di Departemen Sejarah Cornell University, Itacha, Amerika Serikat. Kesempatan menjadi dosen tamu di Cornell ini menunjukkan pengakuan dunia akademis internasional akan kemampuan Soedjatmoko dalam bidang ilmu sejarah. Pada saat menjadi dosen tamu ini pula Soedjatmoko menyusun buku berjudul Historiografi Indonesia: Sebuah Pengantar.

Buku tersebut merupakan kumpulan artikel dari para intelektual dan Indonesianis tentang Historiografi Indonesia. Sejumlah tokoh yang menyumbangkan tulisannya pada buku tersebut antara lain, Moh. Ali, G. J. Resink, R. Soekmono, Koentjaraningrat, H. J. De Graaf, P. J. Zoetmulder, dan sebagainya. Pada buku tersebut, Soedjatmoko bertindak sebagai editor sekaligus menulis pengantar dan artikel penutup.

Soedjatmoko menganggap jika pada masa itu masih terdapat banyak ruang kosong dalam penulisan sejarah Indonesia. Ia kemudian menjelaskan maksud penulisan buku tersebut. Dalam pengantarnya, ia menulis “Dengan demikian hendaknya buku ini dianggap sebagai suatu usaha pendaftaran sementara terhadap sumber-sumber yang tersedia, terhadap kajian-kajian kritis yang ada, terhadap metode-metode penelitian dan pendekatan-pendekatan yang dapat atau telah terbukti manfaatnya untuk mempelajari bahan-bahan, dan terhadap masalah-masalah teoritis yang berkaitan dengan penulisan sejarah Indonesia modern”. Di sini terlihat jelas jika Soedjatmoko berusaha untuk membuka ruang-ruang baru dalam penulisan sejarah Indonesia. Selain itu, ia-bersama dengan para kontributor lainnya, berusaha memberikan pandangan mengenai teori, metode, serta pendekatan dalam studi sejarah Indonesia.

Pada artikel penutup yang berjudul Sejarawan Indonesia dan Zamannya, Soedjatmoko kembali berusaha mengurai perdebatannya dengan Yamin dalam seminar sejarah pertama. Ia menyatakan bahwa “. . . hal tersebut menempatkan sejarawan Indonesia dalam keadaan yang serba sulit. Di satu pihak, ia dihadapkan pada kebutuhan masyarakat akan sejarah nasional semacam itu [narasi sejarah yang ideologis]. Di lain pihak, ia menyadari bahwa masih banyak yang harus diketahui lebih dahulu sebelum susunan sejarah Indonesia dibentuknya dan sebelum ia menuliskan uraian yang berwibawa dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah tentang itu”. Terlihat jelas jika dalam pandangan Soedjatmoko, kerja sejarawan selalu berada dalam ketegangan antara subyektivitas (nasional) dan obyektivitas (ilmiah).

Memaknai ketegangan tersebut, Soedjatmoko berkesimpulan jika sebaiknya “. . . hanya melalui semangat yang menggelora tetapi terkendali dalam usaha menggali kebenaran sejarah sambil tetap menyadari bahwa pada akhirnya kebenaran ini sulit ditangkap, dengan pengakuan tergadap kebutuhan akan penafsiran ulang secara terus-menerus sebagai bagian dari upaya kajian sejarah yang tiada henti, dan akhirnya dengan kesadaran terus-menerus akan latar belakang budayanya sendiri, sejarawan Indonesia berkemungkinan untuk mempertahankan dan dan mengembangkan kajian sejarah sebagai disiplin ilmiah di negerinya”.

Demikian upaya dan gagasan Soedjatmoko yang juga seorang aristokrat Kasunanan Surakarta tentang historiografi Indonesia. Uniknya, Soedjatmoko sendiri tidak pernah mengenyam pendidikan formal di jurusan sejarah. Pendidikan formalnya ditempuh pada jurusan kedokteran di masa pendudukan Jepang. Hal ini tentu berkaitan dengan latar belakang keluarganya sebagai dokter Istana Kasunanan Surakarta.

Soedjatmoko sendiri lahir di Sawahlunto pada 10 Januari 1922 dengan nama Soedjatmoko Mangoendiningrat. Ayahnya, K.R.T. Saleh Mangoendiningrat merupakan dokter Istana Kasunanan Surakarta dan pernah mengenyam pendidikan kedokteran hingga ke Belanda. Latar belakang intelektual ayahnya sangat bermanfaat bagi Soedjatmoko yang memungkinkannya mengakses berbagai literatur untuk mengembangkan pemikirannya.

Menurut Hans Pols dalam buku Merawat Bangsa: Sejarah Pergerakan Para Dokter Indonesia, Soedjatmoko semula diperintahkan mengikuti jejak ayahnya sebagai dokter. Pada usia 18 tahun, ia masuk ke Fakultas Kedokteran Batavia dan turut aktif dalam gerakan kelompok pemuda nasionalis. Saat Jepang tiba di tahun 1942, Soedjatmoko kemudian memutuskan untuk tetap berkuliah di Ika Daigaku, sebuah Sekolah Kedokteran yang didirikan oleh Pemerintah Pendudukan Jepang.

Pada Oktober 1943, terjadi sebuah kericuhan di Ika Daigaku. Dekan Kedokteran, Masamitsu Itagaki memerintahkan semua mahasiswa untuk mencukur gundul rambut mereka sebagaimana militer Jepang. Perintah ini tentu saja ditolak oleh mahasiswa karena bertentangan dengan budaya Jawa. Penolakan tersebut membuat Itaki geram dan beberapa hari setelahnya memerintahkan tentara Jepang memasuki gedung perkuliahan dan mencukur dengan kasar para mahasiswa. Peristiwa ini benar-benar menimbulkan kebencian luar biasa terhadap Jepang di kalangan mahasiswa kedokteran Indonesia termasuk Soedjatmoko.

Para mahasiswa kemudian menyusun aksi demonstrasi besar-besaran untuk memprotes perlakuan buruk tentara Jepang tersebut. Soedjatmoko, seperti yang ditulis oleh Hans Pols “. . . Dia dan Soedarpo menjadi pemimpin demonstrasi yang terjadi setelah kejadian tersebut”. Agaknya peristiwa di Ika Daigaku semakin menebalkan semangat Nasionalisme Soedjatmoko.

Setelah aksi demonstrasi tersebut, Soedjatmoko dikeluarkan dari Ika Daigaku. Ia bahkan juga ditangkap oleh Kenpetai dan dipenjara selama empat minggu. Setelah bebas, ia kembali ke Solo untuk membantu praktek kedokteran ayahnya. Sesaat setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, ia baru kembali ke Jakarta.

Soedjatmoko dikenal dekat dengan salah satu tokoh nasionalis Sutan Sjahrir. Kedekatannya dengan Sjahrir inilah yang membuatnya terpilih dalam berbagai jabatan di pemerintahan Indonesia. Pada awal kemerdekaan, ia menjadi pegawai Departemen Penerangan dengan tugas utama memberikan informasi kepada wartawan mengenai kondisi Indonesia. Pada tahun 1947-1951, ia mendapat tugas untuk memimpin kampanye diplomatik ke  New York demi mendapat pengakuan internasional atas kemerdekaan Indonesia.

Sepulang tugas diplomatiknya tersebut, ia pulang ke Indonesia dan kemudian terpilih menjadi anggota Parlemen dari PSI yang dipimpin Sjahrir. Ketika PSI dilarang Sukarno karena diduga terlibat dalam peristiwa PRRI/Parmesta, sejumlah politisi PSI juga ditangkap karena dugaan makar. Soedjatmoko bernasib lebih mujur ketimbang kawan-kawannya termasuk Sjahrir. Ia dikenal cukup dekat dengan Sukarno dan Soebandrio sehingga lolos dari tuduhan makar. Lagipula Soedjatmoko juga lebih dikenal sebagai seorang intelektual daripada politisi.

Setelah rezim Sukarno berakhir dan Orde Baru pimpinan Soeharto memeegang tampuk kekuasaan, Soedjatmoko tetap mendapat jabatan di pemerintahan. Pada 1968, ia terpilih menjadi Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat. Pada tahun 1978, ia bahkan mendapat Penghargaan Ramon Magsaysay untuk Hubungan Intersional. Dua tahun berselang, Ia diangkat sebagai rektor Universitas Perserikatan Bangsa-Bangsa di Tokyo dan memegang jabatan tersebut hingga tahun 1987.

Soedjatmoko bisa dianggap sebagai salah satu peletak dasar historiografi Indonesia. Meskipun pendidikan formalnya ditempuh pada bidang kedokteran, namun kemampuan intelektualnya justru lebih menonjol dalam bidang ilmu sosial humaniora. Pria yang akrab dipanggil Bung Koko ini wafat akibat serangan jantung pada saat menyampaikan kuliah umum di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta pada tanggal 21 Desember 1989.

 

Sumber Gambar: link