Pembahasan kebijakan pendidikan pada masa pemerintahan Hindia Belanda selalu identik diawali dengan penerapan Politik Etis. Akira Nagazumi dalam buku Bangkitnya Nasionalisme Indonesia: Budi Utomo 1908-1918 menjelaskan bahwa Politik Etis berasal dari gagasan van Deventer yang bertujuan untuk balas budi masyarakat Hindia Belanda dengan menerapkan kebijakan dalam bentuk irigasi, emigrasi, dan edukasi. Edukasi atau pendidikan disebut-sebut memiliki dampak besar di kemudian hari dibandingkan dengan dua kebijakan lainnya yang tidak sesuai rencana.
Pendidikan pada masa Politik Etis sering dianggap sebagai titik awal dalam lahirnya pergerakan nasional, ditandai munculnya organisasi yang diprakarsai oleh priyayi-priyayi terpelajar. Sebuah era perlawanan terhadap kolonialisme dan imperilisme berbeda setelah tahun 1900. Dampak besar dari kebijakan pendidikan ini masih dapat diperdebatkan, antara pemerintah Hindia Belanda yang memberikan kesempatan pendidikan sebagai sebuah keniscayaan atau memang priyayi-priyayi bumiputra sejatinya memiliki kesadaran tinggi akan kebebasan bangsanya dari kolonialisme dan imperialisme berkepanjangan.
Menjadi sebuah pertanyaan apakah pendidikan memang baru diterapkan pemerintah Hindia Belanda saat kebijakan Politik Etis? Pergolakan politik di Negeri Belanda sering berpengaruh sampai daerah jajahannya, tidak terkecuali Hindia Belanda. Keinginan untuk mensejahterakan rakyat bumiputra sering menjadi perdebatan di parlemen, kabarnya kaum liberal dan sosialis sering menentang kebijakan kaum konservatif di parlemen. Tetapi pada kenyataannya kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah Hindia Belanda tidak memiliki keberpihakkan kepada rakyat bumiputra.
Perhatian pemerintah Hindia Belanda terhadap pendidikan sejatinya sudah ada semenjak kepemimpinan Deandels. S. Nasution dalam buku Sejarah Pendidikan Indonesia mengidentifikasi bahwa Deandels dan van der Capellen sudah memiliki perhatian khusus terhadap pendidikan. Deandels dan van der Capellen tercatat memberikan intruksi kepada regen-regen di Jawa untuk mendirikan sekolah di daerahnya mereka masing-masing. Secara spesifik tidak dijelaskan sekolah dalam bentuk apa dan ditujukkan untuk siapa. Akan tetapi, faktanya I. Djumhur dan Danasuparta dalam buku Sejarah Pendidikan menjelaskan bahwa usaha-usaha gubernur jenderal tersebut tidak ada yang benar-benar serius mengembangkan pendidikan untuk bumiputra.
Pendidikan untuk bumiputra dirasa tidak perlu diberikan karena tidak memberikan keuntungan kepada pemerintah Hindia Belanda. Akan tetapi sudut pandang pemerintah berubah ketika diterapkannya tanam paksa (culturstelsel). M. C. Ricklefs dalam buku A History of Modern Indonesia menjelaskan bahwa van den Bosch dengan kebijakan tanam paksanya mendorong pemerintah Hindia Belanda untuk mau tidak mau mempekerjakan bumiputra. Alasannya sederhana dengan mempekerjakannya bumiputra maka pekerjaan-pekerjaan rendah tidak perlu dilakukan oleh orang Belanda sekaligus biaya untuk pengeluaran gaji menjadi lebih rendah. Disitulah letak permasalahannya ide pemerintah tidak sejalan dengan kenyataan di lapangan, jumlah masyarakat bumiputra saat itu yang terampil dan dapat dipekerjakan sangatlah minim.
Tercetuslah ide untuk memberikan pendidikan kepada bumiputra yang akan dijadikan sebagai pegawai rendahan. Pegawai rendahan dibidang administrasi dianggap sangatlah mengguntungkan bagi pemerintah. I. Djumhur dan Danasuparta dalam Sejarah Pendidikan menjelaskan dalam usaha pemenuhan pegawai rendahan gubernur jenderal diberikan keleluasaan untuk menggunakan uang dari anggaran belanja negara sejumlah f. 25.000 untuk mendirikan sekolah bagi bumiputra di Jawa. Kebijakan ini menjadi penting karena untuk pertama kalinya pemerintah mengalokasikan anggaran negara untuk pendidikan bagi bumiputra.
Ary H. Gunawan dalam buku Kebijakan-kebijakan Pendidikan Pendidikan di Indonesia mengungkapkan bahwa pemerintah menunjukkan keseriusannya dalam hal ini dengan membentuk Departement van Onderwijs en Eeredienst pada 1867, ini merupakan departemen pengajaran yang mengurusi permasalahan pendidikan, agama, dan kerajinan. Pembentukan departemen pendidikan ini menjadi sangat berguna dengan munculnya Agrarische Wet (Undang-undang Agraria) yang dikeluarkan oleh pemerintah. Undang-undang Agraria membuka Hindia Belanda dari masuknya perusahaan-perusahaan swasta di Hindia Belanda.
Kebutuhan akan tenaga kerja bumiputra terampil semakin besar, sampai pada akhirnya pemerintah Hindia Belanda secara khusus mengeluarkan Indisch Staatsblaad No.25 tahun 1893 yang isinya sebagai berikut, “…pengaturan dasar-dasar baru bagi pendidikan untuk bumiputra yang membagi sekolah bumiputra menjadi dua bagian. Sekolah dasar Kelas Satu khusus untuk anak-anak priyayi dan kaum terkemuka dan Sekolah Dasar Kelas Dua bagi anak-anak rakyat jelata.” Sejak saat itu muncullah banyak sekolah-sekolah yang memungkinkan bumiputra mendapatkan pendidikan.
Kebijakan pendidikan dalam bentuk Politik Etis sejatinya bukan langkah awal pemerintah dalam memperhatikan pendidikan di Hindia Belanda. Pendidikan dan pemenuhan tenaga kerja rendah memang perlu dan harus dilakukan pemerintah sejak tanam paksa. Pertimbangannya jelas biaya-biaya operasional dalam administrasi dan produksi bisa dipangkas dengan dikerjakan oleh bumiputra yang sudah disekolahkan. Pendidikan secara kebijakan dan sistem pada masa pemerintahan Hindia Belanda tidak pernah mengedapkan kualitas, alih-alih membimbing bumiputra untuk memperoleh kesejahteraan dimasa yang akan datang yang ada bumiputra dijadikan sapi perah untuk kepentinggan pemerintah kolonial saja.