Menghadirkan Senandika
Belakangan perkembangan dunia kesejarahan di Indonesia cukup menggembirakan. Jumlah sejarawan profesional semakin meningkat. Sementara itu di sisi lain kemunculan para sejarawan non akademis juga menyemarakkan kajian sejarah di Indonesia. Kita menyaksikan merebaknya ketertarikan kepada kajian sejarah di berbagai tempat. Sejarah dewasa ini telah mendapat tempat atau setidaknya saluran khusus di ruang publik. Muncul penerbitan baik berupa cetak seperti buku dan majalah maupun di dunia maya yang mengkhususkan diri untuk menjadi penyambung lidah para pemerhati sejarah kepada masyarakat umum. Penerbitan tersebut kebanyakan dikelola oleh mereka yang pernah mendapat pendidikan formal di bidang sejarah. Artinya hari ini sejarah bukan lagi hal yang teramat sulit dijangkau, berat dan membosankan.
Apakah keadaan yang sekarang ini sudah mencukupi hingga kita tinggal duduk diam menikmati? Rasanya tidak. Masih ada banyak ruang kosong yang perlu diisi dan masih ada banyak benang merah yang perlu disambung. Sejarah di negeri ini masih lebih banyak nampak sebagai belantara yang penuh misteri. Ada rasa kekosongan terkait dengan dunia yang pernah turut membesarkan kami yaitu pendidikan sejarah. Pemahaman tersebut mendorong kami memberanikan diri membentuk sebuah komunitas yang juga akan menjadi wadah bagi perkembangan diskursus kesejarahan. Berawal dari sini lahirlah buletin “Senandika” yang terbit pertama kali pada 19 Maret 2017.
Kami menyadari bahwa dari semua wadah atau saluran yang ada dalam rangka mengembangkan diskursus kesejarahan di Indonesia sadar atau tidak pastilah mempunyai coraknya sendiri. Corak yang mungkin memang sengaja di bentuk atau muncul tanpa sadar terkait latarbelakang mereka yang bergiat di dalamnya. Begitupula kami dengan Senandika yang dalam batas kemampuan kami, berupaya secara sadar membangun coraknya sendiri. Semoga corak yang bukan semata-mata bersifat teknis terkait latar belakang kami sebagai lulusan jurusan Pendidikan Sejarah dari salah satu kampus negeri di Yogyakarta. Meski kami akan berangkat dari upaya menafsirkan kembali apa itu Pendidikan Sejarah.
Pendidikan Sejarah bagi kami selama ini dimaknai terlalu sempit. Ia seringkali hanya dimaknai sebagai jurusan yang akan meluluskan para calon guru sejarah. Celakanya lagi guru sejarah itupun masih seringkali dipersempit sebagai mereka yang mengajar mata pelajaran sejarah di sekolah formal. Kita seringkali lupa bahwa pendidikan tidak sama dengan sekolah. Sekolah hanyalah salah satu upaya formal melaksanakan pendidikan. Maka pendidikan sejarah tidak semata soal pelaksanaan pengajaran sejarah di sekolah. Lebih dari itu pendidikan adalah upaya yang lebih luas untuk membantu seorang manusia menjadi sepenuhnya manusia. Pendidikan sejarah lebih dari upaya praktis menyampaikan hasil kerja para peneliti sejarah kepada masyarakat melalui sistem pengajaran di sekolah. Bukan juga sekedar alat untuk mencangkokkan Nasionalisme resmi ala penguasa kepada generasi muda. Pendidikan sejarah adalah bagaimana benar-benar menjadikan sejarah sebagai wahana mendidik manusia dalam arti yang luas. Mendidik bukan saja anak sekolah tetapi masyarakat umum bahkan mereka yang telah menjadi peneliti atau ahli sejarah sekalipun. Bagi kami pada intinya adalah bagaimana dengan menekuni sejarah seseorang mampu berkembang menjadi manusia yang lebih baik, lebih luas pandangannya dan lebih bijaksana dalam menjalani hidupnya.
Mungkin sekilas nampak sebagai cita-cita yang terlalu abstrak dan ambisius dari sekelompok orang yang disebut profesional pun belum layak. Namun kami kira apa salahnya sedikit berkhayal terlebih jika khayalan itu adalah harapan akan terciptanya masa depan dunia yang lebih baik. Apa artinya menjadi manusia jika tidak lagi mampu berkhayal tentang masa depan dunia yang lebih baik. Semoga permulaan ini bukan sekaligus menjadi akhir dari nafas yang pendek.
Salam
Redaksi Senandika