Forest Home Cemetery, Illinois, Chicago. Di salah satu sudut pemakaman itu berdiri monumen Para Martir Haymarket. Patung yang berdiri sejak 1893 itu menjadi landmark bersejarah, bukan hanya bagi warga Chicago, melainkan bagi seluruh warga dunia-utamanya kaum buruh, populasi yang paling banyak menyokong dunia ini. Tempat ini kerap didatangi oleh para peziarah, umum maupun para buruh, untuk sekadar meletakkan bunga sembari memberi penghormatan.
Monumen ini penting, sebab dari sudut Chicago inilah perjuangan buruh tetap kita langsungkan hingga kiwari: 1 Mei. Alun-alun Haymarket terletak di Kota Chicago, Amerika Serikat, pernah diguncang oleh demonstrasi besar-besaran pada 1886.
Tujuh tahun seusai kejadian, seorang pengacara, Clarence Darrow, beserta beberapa lainnya mengajukan petisi kepada Gubernur Illinois, John P. Altgeld, untuk memberikan grasi kepada delapan anarkis atas apa yang dituduhkan pada mereka: tersangka pada kerusuhan Haymarket 1886. Menurut mereka, persidangan telah dilakukan dengan tidak adil, maka itu grasi berlaku wajib. Tepat hari ini, 1 Mei 2021, menuju satu setengah abad peristiwa kekerasan di Alun-alun Haymarket itu terjadi. Bagaimana kisah itu bisa terjadi?
Mengapa Mogok?
Amerika, 1800. Orang-orang menghabiskan separuh hidup mereka dengan bekerja di industri otomotif, konveksi, juga tambang. Dua belas jam, tujuh hari sepekan. Anak-anak, jangan kira mereka hanya berleha, santai menikmati hidup, mereka juga mesti bekerja di perkebunan atau peternakan. Mereka manusia yang butuh istirahat. Hidup tidaklah sepenuhnya bekerja, tetapi modernitas yang menjanjikan kemakmuran itu hanya dipahami oleh para pemilik modal sebagai cerobong-cerobong pabrik yang butuh pekerja. Hanya itu. Bertahun-tahun dikepung kondisi demikian, para buruh ini tak betah terus-menerus diisap oleh tuan-tuan mereka.
Dua dekade pengujung abad ke-19, tepatnya pada 1882, tekad para buruh ini mengkristal. Berdesakkan di jalanan Kota Chicago, mereka berbaris panjang sambil membawa spanduk-spanduk bertuliskan tuntutan, di antaranya, delapan jam kerja dan upah layak. Mereka berdemonstrasi, menuntut hidup lebih layak! Para buruh tambang, industri, kereta api, maupun konveksi turut ambil bagian dalam parade itu.
Namun kejadian yang akan kita bahas berlangsung empat tahun kemudian, pada 1886. August Spies dan Albert Parsons, dua orang buruh anarkis mengorganisir sekitar 80.000 buruh lainnya pada pemogokan 1 Mei, 1886, di Chicago. Chicago, yang terletak di tepi barat daya Danau Michigan, memang dikenal sebagai tempat tumbuh suburnya ide-ide gerakan anarkis. Spies dan Parsons hanyalah bagian kecil dari mereka. Para buruh ini memutuskan hal yang krusial dalam hidup mereka, karena tidak seperti sekarang yang tiap 1 Mei libur, para buruh ini mesti berhadapan dengan pemecatan yang sewaktu-waktu menimpa mereka. Namun merela tak gentar, selalu ada yang pertama bagi saban hal. Ketika pemogokan terjadi di hari itu, ribuan buruh bersatu, tidak peduli gender dan ras. Semua-mua bersatu padu.
Dua hari berselang, 3 Mei 1886, polisi menyambut massa yang tengah bersitegang menghadapi para buruh yang tak mau aksi dengan lontaran pelor. Setidaknya, dilaporkan enam orang tewas dan lainnya terluka. Sehari kemudian, 4 Mei 1886, sebagai protes atas tindakan polisi, para buruh ini mengadakan pertemuan di Alun-alun Haymarket. Di sana, massa mengadakan mimbar-mimbar terbuka, melangsungkan rapat. Wali kota setempat yang juga hadir waktu itu berkata bahwa agenda berjalan damai. Semua berjalan lancar dan aman. Hampir malam, kapten polisi memerintahkan massa segera meninggalkan Haymarket.
Polisi terus mendesak massa untuk segera bubar. Di tengah massa yang khaos, tiba-tiba terdengar ledakan. Sebuah lontaran bom mendarat di muka jajaran polisi. Seketika, sangkaan bahwa massa sudah menyiapkan bom pun tak terelakkan. Polisi memuntahkan butir-butir peluru ke arah massa. Situasi makin mencekam. Massa kocar-kacir. Akibat insiden itu, lebih dari 60 polisi dan 50 warga sipil terluka. Delapan penganjur gagasan anarkis, termasuk di dalamnya Spies dan Parsons, ditangkap. Hukuman gantung seolah mengintip mereka dari balik pintu gedung pengadilan.
Padahal, menurut laporan di The Guardian berjudul “Lost In History” pengadilan yang dilakukan atas terdakwa selepas kejadian itu tidak menunjukkan bukti bahwa pelempar bom adalah massa buruh. Toch, andaikata bom memang disiapkan dan dilempar oleh massa pendemo, mestinya polisi juga tak bisa bertindak sewenang-wenang. Sebab, itu belum membuktikan posisi siapa benar siapa salah. Sampai di sini, Clearance Darrow seorang pengacara mengajukan petisi. Namun, upaya itu sia-sia belaka. Tiga orang terdakwa tetap digantung, sedang lima lainnya bunuh diri. Keadilan berpaling dari buruh.
Sekali Lagi: Mogok!
Lebih sedekade usai mogok di Alun-alun Haymarket, pemogokan besar terjadi lagi pada musim panas 1894 di Chicago. Kali ini buruh-buruh industri otomotif yang menyulut pemogokan. Buruh-buruh itu berhenti bekerja sama sekali setelah mengetahui bos mereka, George Pullman, pemilik Pullman Car Company, menurunkan upah. Para pekerja Pullman Palace Car Company tak mau lagi mengurusi mobil-mobil bos mereka. Bukannya bergeming atas tekanan buruh, justru buruh yang mengeluh atas kebijakan baru itu dipecat oleh Pullman.
Mereka tak sendirian. Kita tahu bahwa buruh adalah populasi terbanyak di planet ini. Pemogokkan itu tak hanya dilakukan para buruh Pullman, tapi juga buruh American Railway Union, yang kala itu dipimpin Eugene V. Debs, seorang propagandis. Pemogokan itu sanggup mengganggu lalu lintas kereta api Midwest, mengganggu lalu lintas barang dan menurunkan para penumpang. Otoritas setempat memerintahkan beberapa peleton pasukan federal untuk memecah massa yang mogok kerja. Lagi-lagi, dentuman pelor pun akhirnya menyambut massa ini.
“Sebagai tanggapan, Presiden Cleveland menyatakan pemogokan itu sebagai kejahatan federal dan mengerahkan 12.000 tentara untuk memecahnya,” seperti dikutip dari The Guardian. Akibatnya, kekerasan meletus dan mengakibatkan dua orang tewas. Dan, akibat-akibat seperti itu ditujukan pada gerakan sosialis dan anarkis. Hingga sekarang.
Warisan para Buruh
Kini, seabad lebih dunia yang kita tinggali dibentuk berkat jerih payah para buruh ini, publik justru mengasosiasikan Hari Buruh hanya sebatas liburan. Bahkan, kata “buruh” berupaya dihapuskan dewasa ini. Digantikan oleh mitra, partner-yang sejatinya juga tengah berlangsung jenis-jenis pengisapan pada masing-masing kata itu. Keadaan tak kunjung baik.
Meski kini makin kompleks persoalannya, misalnya: bagaimana hegemoni perusahaan terhadap para buruh; bagaimana para buruh menghadapi isu sektarianime dalam tubuh gerakan; bagaimana pembentukan aliansi dengan kaum tani-yang idenya telah berlangsung lama; bagaimana kondisi pendidikan di tubuh gerakan; dan bagaimana mengatur ulang strategi dan bentuk gerakan adalah deretan pertanyaan bagi gerakan buruh hari ini.
Namun, dengan begitu, perjuangan yang telah dilancarkan para buruh di Alun-alun Haymarket justru menjadi begitu penting. Meski tuntutan mereka telah terpenuhi, kerja 8 jam misalnya, tetapi bukannya membuat perjuangan usai. Justru sebaliknya: menuntut kita, para buruh, agar selalu memperbarui strategi gerakan, mengidentifikasi persoalan, serta terus mendefinisikan apa yang disebut hidup layak.
Sumber Gambar: Harper’s Weekly – www.chicagohs.org